Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Kepak Sayap Putih Abu-abu [8]

6 Februari 2021   20:15 Diperbarui: 6 Februari 2021   20:25 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi anak lelaki (sumber gambar: pixabay.com)

Cerita sebelumnya

"Biasanya beli sendiri, kan?"

"Ica sakit. Dia takut kehabisan. Makanya saya kesini. Katanya Cuma di sini yang jual majalah itu"

"Innalillahi!" Spontan Dedi bergumam. "Sakit apa, Pak?"

Tak sadar raut wajah Pak Gatot di hadapannya berubah. "Tipes. Mungkin capek. Dia itu, kalau..."

Pak Gatot berusaha menjelaskan keadaan Ica, anaknya. Nada suaranya naik turun, seiring lalu lalang orang dan kendaraan yang melintas di depan kios. Bang Dedi serius mendengarkan.

"Maaf, Pak. Saya permisi dulu." Azki memotong pembicaraan.

Wajahnya memandang Pak Gatot, kemudian beralih ke Dedi. Tangan kanannya memegang erat kantong plastik hitam.

Pak Gatot terkejut. Ia menatap Azki tajam. Seakan bermakna, "tidak sopan! Guru datang, malah menghilang!"

Namun Dedi tersenyum. Anggukkan kepala pelan, tanda mengizinkan.

"Kau mau ke mana?" Tanya Pak Gatot yang tiba-tiba, berhasil menghentikan gerak kaki Azki yang hendak melangkah pergi.

"Ke masjid, Pak!" Sahut Azki sambil menunjuk ke seberang jalan. Pak Gatot mengangguk mengerti. Pandangannya mengarah ke gerbang Masjid.

"Bapak tinggal di mana?"

Pertanyaan Dedi mengalihkan perhatian Pak Gatot dari Azki. Keduanya pun melanjutkan percakapan yang tadi terputus. Mereka hanyut dalam pembicaraan.

Perlahan, Azki berbalik badan. Menyeberangi jalan menuju masjid. Senyum Azki semakin mengembang. Aisyah? Ujian SMP? Berarti anak Pak Gatot seusia denganku?

***

Udara sore semakin lembut. Namun pasar semakin ramai oleh pedagang yang biasa berjualan malam hari di sepanjang trotoar pinggir jalan.

Azki memandang ke kios. Dedi dan Pak Gatot terlihat masih terlibat dalam pembicaraan serius.

Mang Amin sedang menyapu halaman masjid. Matanya meminta Azki untuk bersegera. Azki melangkah lebih cepat sambil tersenyum.

Tepat di depan mihrab. Azki menyelesaikan rakaat terakhirnya lebih lama. Doanya lebih panjang. Ia tertunduk. Ada tangis tertahan. Ya Allah. Tunjukkanlah jalan-Mu.

Lima belas menit berlalu. Azki masih tertunduk. Bahunya naik turun. Sudah setengah jam, Azki belum juga keluar dari masjid.

Mang Amin menghentikan pekerjaannya. Mengedarkan pandangan ke arah mihrab, tempat biasanya Azki salat. Azki masih tertunduk. Mang Amin menghampiri.

"Ada apa, Nak?"

Azki kaget. Mang Amin sudah berada di sebelahnya. Secepat kilat, Azki mengusap manik-manik di sudut matanya. Mencoba tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar.

"Dimarahi Dedi?"

Azki menggeleng.

"Dimarahi guru? Atau ibumu?"

Tak ada jawaban. Rentetan pertanyaan Mang Amin menyesakkan dada Azki. Kepalanya semakin merunduk. Napasnya terdengar satu-satu. Ada sesuatu yang ia tahan.

"Ada apa!"

Suara Mang Amin meninggi. Ada emosi tertahan dalam nada suaranya. Sebab, tak biasanya Azki bersikap seperti itu.

Mang Amin sangat mengenal sosok yang ada di sampingnya. Azki anak yang tegar. Sabar dan periang. Terkadang jahil.

Namun, di dalamnya rapuh, mudah goyah dan perasa. Remaja di sampingnya itu, sudah dianggapnya anak sendiri. Pelan, tangannya mengusap kepala Azki.

"Aku ingat Ayah, Mang!"

Tangis itu akhirnya pecah dalam diam. Sekarang air mata itu jatuh. Bahkan semakin deras.

Mang Amin terdiam. Kemudian merangkul Azki.

Suasana hening. Masjid sepi.

***

"Kenapa lama?"

Pertanyaan terlontar dari mulut Dedi, saat Azki kembali ke kios. Pak Gatot sudah sejak tadi pergi. Azki tak menjawab.

Dedi terkesiap saat menatap wajah Azki. Azki menunduk menghindari tatapan Dedi.

"Kamu menangis?"

Nyaris berbisik, Dedi menyentuh bahu Azki. Perlahan, Azki mengangkat kepalanya dan tersenyum.

"Tadi mataku kelilipan. Masuk debu saat membantu Mang Amin"

Azki mengarahkan pandangan ke seberang jalan. Di halaman masjid, Mang Amin berdiri dengan sapu di tangannya. Matanya mengarah ke kios. Dedi menarik napas dalam-dalam.

"Tadi Pak Gatot berpesan. Untuk edisi yang akan datang. Annida langsung kamu berikan pada Ica."

"Hah!"  Azki terkejut mendengar ucapan Dedi. "Ica?"

Azki mengulang nama itu beberapa kali. Pura-pura tidak tahu dan tak mengerti. Padahal, sesungguhnya Azki sempat mendengar pembicaraan awal antara Dedi dengan Pak Gatot tadi.

"Namanya Aisyah. Anak Pak Gatot. Biasa dipanggil Ica." Dedi menatap wajah Azki penuh selidik. Azki memasang raut wajah serius, kemudian mengangguk tanda mengerti.

"Ica juga sekolah di SMA Bakti. Kelas satu. Seusia denganmu. Tapi dia tak masuk hari ini. Sakit tipes."

Dedi menjelaskan panjang lebar. Azki diam tak menanggapi.

"Orangnya manis loh?" Dedi menggoda.

"Huh!"

Azki bersungut. Secepatnya berpaling. Takut perubahan di wajahnya terlihat oleh Dedi.

Curup, 06.02.2021

Zaldychan

[Hari Penuh Doa]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun