"Ada apa, Nak?"
Azki kaget. Mang Amin sudah berada di sebelahnya. Secepat kilat, Azki mengusap manik-manik di sudut matanya. Mencoba tersenyum. Namun senyumnya terasa hambar.
"Dimarahi Dedi?"
Azki menggeleng.
"Dimarahi guru? Atau ibumu?"
Tak ada jawaban. Rentetan pertanyaan Mang Amin menyesakkan dada Azki. Kepalanya semakin merunduk. Napasnya terdengar satu-satu. Ada sesuatu yang ia tahan.
"Ada apa!"
Suara Mang Amin meninggi. Ada emosi tertahan dalam nada suaranya. Sebab, tak biasanya Azki bersikap seperti itu.
Mang Amin sangat mengenal sosok yang ada di sampingnya. Azki anak yang tegar. Sabar dan periang. Terkadang jahil.
Namun, di dalamnya rapuh, mudah goyah dan perasa. Remaja di sampingnya itu, sudah dianggapnya anak sendiri. Pelan, tangannya mengusap kepala Azki.
"Aku ingat Ayah, Mang!"