Apalah lagi, jika sang anak melihat rumah yang roboh atau rusak parah, atau kehilangan anggota keluarga terdekat. Tekanan  psikologi pada anak luar biasa. Hanya sesuai umurnya, mereka tak bisa mengekspresikan perasaan. Kecuali air mata. Hanya itu.
Orangtua atau orang dewasa, bisa saja bertindak cepat dengan mengabaikan kesedihan. Berusaha mencari bantuan atau bekerja membangun ulang hunian sementara untuk keluarga.Â
Tapi anak-anak? Apatah lagi, tak ada tempat bermain atau sekolah sebagai tempat pelarian untuk menghapus kesedihan. Tatapan mata kosong, memilih berdiam diri, bingung karena tak tahu apa yang mesti dilakukan atau malah menyendiri.
Kesibukan orang dewasa untuk memulihkan kondisi, terkadang mengabaikan "penderitaan" psikologi anak di saat bencana. Perlahan akan menggerus kekuatan fisik berujung sakit. Maka bencana dalam bentuk lain sudah menunggu.
Akhirnya...
Menggali dan menyigi materi dengan bahasa sederhana tentang sumber bencana untuk konsumsi anak-anak, kukira hal yang pantas dan mendesak dilaksanakan. Setidaknya untuk mengurangi kerentanan dan mengurangi risiko yang ditimbulkan.
Beberapa tahun lalu, sempat tercetus ide edukasi bencana menjadi bagian dari kurikulum. Namun, menguap! Tak sempat mengalami seperti kurikulum anti korupsi yang pernah dan sempat berlaku, kemudian membisu? Aih, entahlah!
Curup, 22.01.2021
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H