Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Telur Puyuh dan Batu Bata, Cara Mudah Mengenalkan Gempa untuk Anak Usia Dini

22 Januari 2021   20:35 Diperbarui: 23 Januari 2021   08:06 1518
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Batu Bata sebagai alat peraga penyebab gempa (sumber gambar: regional.kompas.com)

"Katakan Peta! Katakan Peta!"

Ini kalimat yang acapkali diujarkan Dora. Salah satu film favorit anak-anak. Nilai positif dari film ini adalah kebutuhan Dora pada Peta. Ketika bingung atau tersesat, maka peta dijadikan acuan dan pedoman.

"Pintu ke mana saja!"

"Baling-baling bambu!"

Sebaliknya, penyuka Doraemon mungkin akan kesal. Saat kubilang, pesan yang diingat oleh anak-anak adalah dua kalimat di atas. Sebab, semua masalah akan selesai dengan dua hal itu, yang tersembunyi di dalam "Kantong Ajaib" milik Doraemon.

Susahnya, Kantong Ajaib itu hanya milik Doraemon, dan tak ada di alam nyata. Sedangkan peta yang dikatakan Dora, bisa dibuat secara nyata.

Jika dikaitkan dengan ancaman gempa yang acapkali nyata menjadi bencana, Akankah anak-anak berpikir seperti Dora atau Nobita dan kawan-kawan yang mengandalkan Doraemon?

Terus, Apa yang bisa dilakukan? Mengenalkan Sumber dan pemicu gempa sejak usia dini!

Ilustrasi Anak-anak di pengungsian akibat gempa di Donggala, Sulawesi Tengah 13/10/2018 (sumber gambar: nasional.kompas.com)
Ilustrasi Anak-anak di pengungsian akibat gempa di Donggala, Sulawesi Tengah 13/10/2018 (sumber gambar: nasional.kompas.com)
Butuh Cara Mudah dan Murah Mengenalkan Gempa kepada Anak

Saat kubagikan artikel Edukasi dan Simulasi Bencana, Melatih Reaksi Menjadi Aksi (Kompasiana, 19/01/2021). Beberapa orang guru yang pernah ikut pelatihan kebencanaan, meminta aku menulis ulang tentang cara mengenalkan gempa untuk anak usia dini.

Kenapa memilih gempa?

Secara umum, gempa bisa sebagai pemicu bencana susulan. Semisal tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, kebakaran hingga beragam penyakit. Jangan heran, jika sebagian orang menganggap gempa sebagai "induk" bencana.

Kali ini, aku ceritakan ulang pola pelatihan khusus untuk para guru PAUD dan SD, ya?

Karena materi pelatihan untuk dibagikan ke siswa PAUD dan SD, Butuh penyesuaian bahasa yang didisain untuk anak usia dini. Serta pemilihan alat peraga yang gampang diingat, mudah dan murah ditemukan oleh guru dan anak-anak dalam keseharian, kan?

Dua benda yang mudah ditemukan dan berharga murah itu adalah telur dan batu bata. Biasanya aku meminta pihak sekolah menyediakan telor puyuh yang sudah di rebus. Serta dua buah batu bata. Bagaimana cara menjelaskannya?

Ilustrasi Telur Puyuh sebagai alat peraga mengenal lapisan bumi (sumber gambar: manado.tribunnews.com)
Ilustrasi Telur Puyuh sebagai alat peraga mengenal lapisan bumi (sumber gambar: manado.tribunnews.com)
Mengenalkan Lapisan Bumi dengan Telur Puyuh

Telur puyuh rebus menjadi alat peraga yang efektif untuk pengenalan bumi ke pada siswa. Karena bisa dianggap sebagai "mainan" serta bisa langsung di konsumsi. Hal ini, akan menarik minat dan keingintahuan siswa, kan?

Para guru mendapat satu butir telur, dan diminta memecahkan kulit telur. Maka, akan ditemukan 3 bagian bumi.

Pertama: Kulit Luar Telur
Kulit luar telur yang sudah pecah itu. Dijadikan perumpamaan permukaan, kerak dan lempeng bumi. Ceruk ke arah dalam digambarkan sebagai jurang lembah atau lautan. Ceruk ke arah luar dianggap pegunungan. Kulit luar telur adalah tempat makhluk hidup tinggal.

Kedua: Putih Telur
Bagian putih telur, dijadikan amsal isi luar lapisan bumi. Berupa tanah, pasir, batu hingga lapisan padat dari perut bumi. Anak-anak bisa digambarkan dengan situasi penambangan batu bara, emas atau eksplorasi minyak bumi.

Ketiga: Kuning Telur
Bagian ini dianggap sebagai inti bumi atau isi dalam bumi yang bersifat cair dan panas. Anak-anak diberi penjelasan, seperti sumber lava pijar dan magma yang acapkali dilihat saat gunung api meletus.

Nah! Getaran gempa yang dirasakan itu, terjadi akibat pergerakan lempeng bumi (dari Kulit Luar Telur). Terus, bagaimana bisa menimbulkan getaran?

Mengenalkan Penyebab Getaran Gempa dengan Batu Bata

Kali ini, giliran 2 buah batu bata ambil peran sebagai alat peraga, yang dianggap sebagai lempeng bumi. Setidaknya, ada 3 jenis pergerakan lempeng bumi.

Pertama: Saling Mendekat atau Menjauh
Caranya? Gerakkan 2 batu bata itu saling menjauh dan mendekat. Kenapa bergerak? Akibat dorongan dari inti dalam dan isi luar bumi, maka antar lempeng yang berjauhan akan saling mendekat. Begitu juga sebaliknya.

Tumbukan akibat dorongan itu yang menghadirkan gempa. Biar lebih dramatis, coba letakkan rumah atau orang-orangan mainan anak di atas kedua bata. Bisa dibayangkan yang akan terjadi?

Kedua: Bergesekan
Silakan letak rapat 2 batu bata, terus digerakkan secara berlawanan (maju-mundur atau depan-belakang). Penyebabnya tetap sama dorongan dari inti bumi yang bersifat cair dan panas. Hal ini adalah upaya bumi untuk menemukan jalur pelepasan energi.

Dampaknya? Bisa disimulasikan seperti gerakan pertama tadi, tah?

Ketiga: Berhimpitan atau Atas-Bawah
Kali ini 2 Batu bata dipegang sejajar dengan 2 tangan. Kemudian gerakkan kedua tangan secara berlawanan ke atas dan ke bawah. Seperti menimang atau menimbang sesuatu. Gerakan ini terakhir ini, punya daya hancur luar biasa, dibandingkan gerakan kedua.

Nah, letak geografis Indonesia berada tepat di atas (zona subduksi) antara kedua batu bata itu sebagai contoh lempeng bumi. Jadi, tak heran, jika wilayah Indonesia rawan gempa, tah?

Ilustrasi Anak saat terjadi bencana. foto kamp pengungsian di pulau Lesbos Yunani. (sumber gambar: https://www.kompas.com/)
Ilustrasi Anak saat terjadi bencana. foto kamp pengungsian di pulau Lesbos Yunani. (sumber gambar: https://www.kompas.com/)
Anak-anak Paling Rentan Saat Terjadi Bencana

Kenapa Anak-anak?

Pada masa tanggap darurat (Setidaknya tujuh hari pasca bencana). Jika berdiam di tempat yang pernah mengalami bencana, atau menjadi relawan yang terjun langsung ke lokasi bencana. Selain lansia, anak-anak  merupakan objek yang paling rentan.

Apalah lagi, jika sang anak melihat rumah yang roboh atau rusak parah, atau kehilangan anggota keluarga terdekat. Tekanan  psikologi pada anak luar biasa. Hanya sesuai umurnya, mereka tak bisa mengekspresikan perasaan. Kecuali air mata. Hanya itu.

Orangtua atau orang dewasa, bisa saja bertindak cepat dengan mengabaikan kesedihan. Berusaha mencari bantuan atau bekerja membangun ulang hunian sementara untuk keluarga. 

Tapi anak-anak? Apatah lagi, tak ada tempat bermain atau sekolah sebagai tempat pelarian untuk menghapus kesedihan. Tatapan mata kosong, memilih berdiam diri, bingung karena tak tahu apa yang mesti dilakukan atau malah menyendiri.

Kesibukan orang dewasa untuk memulihkan kondisi, terkadang mengabaikan "penderitaan" psikologi anak di saat bencana. Perlahan akan menggerus kekuatan fisik berujung sakit. Maka bencana dalam bentuk lain sudah menunggu.

Akhirnya...

Menggali dan menyigi materi dengan bahasa sederhana tentang sumber bencana untuk konsumsi anak-anak, kukira hal yang pantas dan mendesak dilaksanakan. Setidaknya untuk mengurangi kerentanan dan mengurangi risiko yang ditimbulkan.

Beberapa tahun lalu, sempat tercetus ide edukasi bencana menjadi bagian dari kurikulum. Namun, menguap! Tak sempat mengalami seperti kurikulum anti korupsi yang pernah dan sempat berlaku, kemudian membisu? Aih, entahlah!

Curup, 22.01.2021
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun