Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Untuk Sebuah Nama

20 Januari 2021   15:48 Diperbarui: 20 Januari 2021   17:54 580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kurang lima belas menit dari putaran waktu dua puluh empat jam. Tiga kali, aku harus berurusan dengan Seruni. Kalimat yang sama, dengan tekanan nada suara yang sama.

"Mas tidak adil!"

Kemarin, kali pertama kudengar. Ketika memasukkan motor ke ruang tamu usai pulang kerja. Azan magrib masih berkumandang di menara masjid di sebelah rumah. Kuabaikan kalimat itu saat kudengar iqomah. Segera berlari ke kamar. Mandi. Kemudian tidur.

Usai salat subuh, aku tidur lagi. Dan terbangun lima menit sebelum pukul tujuh. Seruni mengulang kembali ujaran itu. Aku tersenyum. Tuntutan berlaku adil, biasanya dialami hakim atau pelaku poligami. Tentu saja, aku bukan keduanya.   

Namun tidak senja tadi. Seruni menghentikan langkahku di pintu dapur. Menyeret langkahku kembali ke kamar. Mataku dipaksa memandang layar monitor yang masih menyala. Aku lupa menutup dan menyimpan cerita pendek yang terakhir kutulis.

"Kenapa namanya Gadis?"

Huft! Aku tersadar. Dua puluh empat jam lewat satu menit, tiga pernyataan sekaligus tuduhan Seruni itu, berawal dari nama tokoh di dalam ceritaku. Sejauh ini, Seruni tak pernah menampakkan perasaannya padaku.

"Kau cemburu?"

Pertanyaan sia-sia. Tak akan ada jawaban untukku. Setelah empat tahun tinggal serumah. Tak terhitung nama tokoh yang pernah kutulis. Baru kali ini Seruni ajukan keberatan. Kusimpan rasa penasaran. Terkadang, lebih baik menunggu daripada bertindak.

"Hapus nama itu!"

"Apa yang salah?"

"Hapus!"

"Aku tak terbiasa menghapus! Jika pun salah, diperbaiki. Bukan dihapus!"

"Ganti!"

"Tidak akan!"

Aku nyaris teriak. Seruni diam. Layar monitor bergerak pelan. Kulihat  terpampang menu Find and Replace. Bergeser ke "Replace". Ada tulisan Gadis di kolom atas, dan Seruni di kolom bawah. Sesaat tombol Replace All berwarna hijau menyala. Kubaca di layar "25 Replacement".

"Sudah kuganti dengan namaku!"

Sesaat tersenyum menatapku. Seruni menghilang ke dalam cermin.

***

Hamba Allah

"Atas nama siapa, Bu?"

"Hamba Allah!"

Perempuan itu tersenyum. Menggandeng tangan milik gadis kecilnya, berjalan pelan meninggalkanku. Lima lembar uang seratus ribu masih kupegang. Tanganku bergerak pelan meraih spidol, dan menulis di papan tulis, "Hamba Allah : Rp. 500. 000,-"

Hari keempat di Posko penggalangan Dana untuk Gempa Bumi Sulawesi Barat. Enam puluh tiga orang donatur memiliki nama sama. Hamba Allah.

Sesungguhnya tak ada masalah atau perdebatan dengan nama itu. Toh, menurutku, semua orang adalah hamba Allah. Dan segala sesuatu di dunia ini adalah makhluk Allah. Hanya saja, kenapa setiap membuka posko, tiba-tiba nama Hamba Allah laris manis?

Apakah semua orang menjadi pengikut William Shakespeare dengan kredo "Apalah arti sebuah nama?"

Aku masih teringat kekeliruanku pada temanku yang bernama Ari. Saat kusapa "Mas Ari", ternyata seorang perempuan. Atau sebaliknya, kusapa "Mbak Susy" ternyata seorang lelaki yang bertubuh tinggi besar bak aktor laga!

Aku pernah kelimpungan menentukan nama anakku. Akhirnya mencari dan membeli beberapa buku kumpulan nama. Memilah dan memilih satu nama dari ribuan nama pilihan yang tersaji. Sambil waswas menanti kelahiran, berharap nama yang dipilih, sesuai dengan jenis kelamin.

Saat sekolah dasar. Tak terhitung, berapa kali aku berkelahi. Dengan teman sebangku, satu kelas, satu sekolah atau anak sekolah lain. Tak peduli kakak kelas atau bertubuh lebih besar dariku. Hanya gara-gara menyebut nama bapak dan ibuku. Itu penghinaan bagiku!

Nama adalah kehormatan. Banyak orang bertarung hingga kehilangan nyawa untuk mempertahankan nama. Atau sebaliknya, kehilangan nama. Jika keliru memilih jalan, meraih kehormatan tanpa kehormatan.

"Bang. Duit Abang kemarin masih sisa!"

"Masukkan ke Posko aja!"

"Pakai nama..."

"Tulis saja Hamba Allah!"

Aku tersenyum menatap wajah temanku yang bingung.

***

Bule

"Titin Sumarni!"

"Hadir, Pak!"

"Sunda, ya?"

Kulihat perempuan yang duduk di barisan paling depan dekat pintu masuk itu, mengangguk dan tersenyum.

"Joko Santoso!"

"Ada! Aku asli jawa, Pak!"

Kali ini, aku yang tersenyum. Terdengar tawa seisi ruangan. Kuajukan jempol pada lelaki pemilik nama Joko. Mataku kembali ke daftar hadir.

"Cornelis!"

"Saya, Pak!"

"Orangtuamu dari Portugal? Atau Spanyol?"

Suara gelak tawa memenuhi ruangan. Lelaki bernama Cornelis tertunduk di sudut ruangan. Di barisan paling belakang.

"Saya Asli Rejang, Pak!"

"Oh! Orangtuamu orang Rejang?"

"Ibu campuran. Kakek dari Medan, Nenek keturunan Tionghoa. Kalau Bapak, lahir di Curup, tapi kedua orangtuanya berdarah Minang dan...  "

"Sudah, sudah! Kamu sudah tak asli!"

Lagi. Suara tawa memenuhi ruangan. Diam-diam kuperhatikan wajah Cornelis. Tak satu senti pun mirip keturunan dari daerah asal yang tadi disebutkan. Tapi, raut wajahnya mirip bule!

"Kenapa kamu mirip bule?"

Wajah Cornelis memerah. Aku tak bermaksud menyudutkan lelaki bertubuh kurus dan kecil itu. Selain untuk memenuhi rasa ingin tahu. Salah satu alasannya, karena kehebohan kasus perempuan bernama Kristen Gray di Bali yang menjadi viral di media massa dan media sosial.

"Hati-hati! Dirimu terancam dideportasi!"

Kubiarkan tawa kembali membahana. Sesungguhnya, aku lagi memikirkan. Apakah di luar negeri juga ada sebutan "bule"?

Jika ada, berarti banyak temanku di luar negeri juga disebut bule.

Aih, kenapa aku tiba-tiba malu.

Curup, 20.01.2021

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun