"Kenapa sendiri? Kok, gak ada yang menemani?"
Kembali. Gadis menghadiahkan seulas senyuman untukku. Degup jantungku berpacu deras memukul dada, memintaku membatalkan pertanyaan yang baru saja terlontar. Agar tak berujung penyesalan. Tiba-tiba wajahku terasa hangat, berusaha menahan malu.
Tak ada jawaban Gadis. Sesaat wajahnya menunduk. Menghindar dari serbuan sepasang mataku yang tak mungkin lagi menipu. Wajah itu, perlahan menghadirkan rona merah di pipi yang dipoles seadanya. Tampak berkilau.
Aku pernah melihat beberapa video tukang kayu yang membuat meja atau bangku. Berusaha begitu keras dengan teliti dan hati-hati. Sepenuh rasa mengamplas agar terlihat halus, memberi sentuhan warna serta pelitur sedemikian rupa agar terlihat mulus dan berkilau.
Namun, tahapan pekerjaan tukang kayu itu tak akan berlaku untuk kemilau kulit wajah milik Gadis. Aku mulai sedikit mengerti alasan Rama begitu nekad menantang raksasa demi menyelamatkan Dewi Sinta. Paras Dewi Sinta, membuat Rama mau melakukan apa saja.
Mungkin aku terlalu berlebihan menyamakan kecantikan Gadis dengan Dewi Aprodhite atau Dewi Amor. Kecantikan kedua dewi itupun kulihat hanya melalui foto. Berupa lukisan atau patung. Perbedaannya, aku bertemu langsung dengan Gadis.
***
"Kalau nanti menikah, kau masih disapa gadis, kan?"
Andai sejak dulu bertemu, pasti kulontarkan pertanyaan itu. Namun tak mungkin kali ini. di pertemuan pertama. Kalimat bernada canda itu, bisa saja mengundang malapetaka dan bencana. Dalam hati, tentu saja aku tak menginginkan hal itu terjadi.
Seperti rezeki dan mati. Jodoh tak siapapun pernah tahu. Bukan dengan menunggu, tapi dicari. Kukira, hari ini, aku tak lagi perlu mencari.
***