***
"Tak ada pertanyaan, kan?"
Tak bersuara, Gadis tersenyum. Lebih tepatnya, menghadiahkan senyuman untukku. Bibir atasnya melekuk indah dengan sedikit lengkungan persis di tengah, mengatup tenang dengan bibir bawah yang begitu serasi. seperti sepasang puzzle yang saling bertaut.
Mataku bergerak liar, menatap pahatan bak batu pualam yang terpasang sedikit di atas mulut. Hidung itu seperti ukiran pemahat maestro dunia. Dengan besaran dan ukuran serta kemiringan yang begitu padu. Menyempit manis di antara kedua sudut mata.
"Apalagi, Bang?"
Lagi. Kudengarkan suara Gadis yang renyah dan ramah masuk menelusuri liang telingaku. Mata itu menatapku. Menunggu.
Bola mata yang begitu besar. Tapi, tatapan itu memiliki daya lekat yang begitu kuat. Dipagari dua baris bulu mata yang lentik tanpa sentuhan maskara atau hiasan celak, yang biasa kulihat dari foto artis atau dilukis perias pengantin.
Aku pernah melihat seekor kucing belang tiga milik tetangga, yang hanya diam dan menatap tajam pada seekor cicak di langit-langit kamar. Cicak itu terjatuh dan segera dimangsa.
Aku enggan mengakui berubah menjadi cicak. Sebab pemilik sepasang mata dengan tatapan yang tajam itu bernama Gadis. Bukan kucing tetangga yang belang tiga.
Apalagi, sepasang alis berbaris rapi itu. Tak ada tanda bekas dicabut atau dicukur. Terlihat seperti hasil sulaman dari mesin canggih hasil teknologi paling mutakhir. Aku jadi berpikir, mungkin alis milik perempuan bernama Gadis itu, contoh yang tepat untuk istilah "bak semut berbaris".
***