Masih terlihat bekas terompet berbentuk naga, tergeletak pasrah persis di pintu pagar. Entah, tangan milik siapa yang tega membiarkan artefak sejarah pergantian tahun itu terkapar. Tak berdaya melawan udara pagi yang basah.
Dari pintu rumah, Macaulay Culkin dan Home Alone 3 baru saja pergi dari televisi. Aku tak akan menyesal melewati lima menit terakhir film itu. Tiga puluh tahun, film itu menemaniku di tahun baru.
Sesaat, layar televisi berganti berita perayaan tahun baru di masa pandemi. Tiba-tiba, terkurung sepi. Mati. Rumah kembali sunyi. Mataku beralih pada satu buku tebal di atas meja di depan televisi.
Buku berwarna abu-abu. Tanpa judul dan tanpa disain sampul. Tak ada nama penulis, penerbit atau apa pun yang biasa dijumpai pada sebuah buku. Hanya tercetak ada empat angka dengan warna hitam,"Â 2020".
***
Bab 2. "Tanggal Cantik". Halaman 132.
"Ayah! Sekarang tanggal cantik."
"Hah?'
"Kan, 02-02-2020!"
"Terus?"
"Iiih!"
Cubitan pertanda putus asa, sukses mendarat di lenganku pagi tadi. Saat sore, aku baru ngeh! Ternyata memang tanggal cantik. Karena jika dibaca bolak balik bakal bermakna sama.
Aku tahu, biasanya ada ketertarikan orang-orang pada deretan angka-angka cantik dengan berbagai alasan.
Menurut Pak Agus- pemilik organ tunggal-, biar gampang diingat. Mbak Sari lain lagi. Pemilik katering Ayam Geprek itu menyatakan, biar beda. Yanto, temanku yang akan menikah tahun depan, memberikan hadiah nomor khusus untuk calon istri. Alasannya? Dia Istimewa.
Romi yang menjual sepatu, rela membayar lebih, untuk mendapatkan nomor ponsel cantik yang terpasang di papan merek toko. Orang kaya, juga memesan nomor polisi cantik buat kendaraan roda dua atau roda empat.
Ada juga yang mengatur tanggal kelahiran, tanggal pertunangan, serta tanggal pernikahan. Entahlah, kalau merencanakan tanggal kematian.
***
Bab 10. "Uban". Halaman 945.
"Uban Ayah tambah banyak!"
"Hadiah dari Tuhan, Nak!"
"Makanya potong rambut!"
Tujuh bulan, bekerja di rumah sejak kedatangan korona. Aku mulai menyadari banyak hal. Salah satunya, aku jadi baru tahu, jika keberadaan uban di kepalaku itu, bertambah banyak. Pasti butuh banyak waktu buat menghitungnya.
Akupun diberi tahu oleh anakku, formula terbaru untuk menghilangkan uban. Caranya sangat mudah dan murah. Tinggal potong rambut. Diam-diam, kulakukan keinginan anakku di kamar mandi.
"Ayah sudah potong rambut, Nak!"
Tak butuh waktu lama. Aku melihat tatapan kecewa, dan kubiarkan anakku menjauh dari kamar mandi. Aku hanya ingin dia tahu, jika dipotong, uban hanya hilang sementara, Dalam sejarah yang kupelajari, kumis pun termasuk masuk golongan rambut.
Satu lagi. Setidaknya, anakku mengerti. Aku sudah mulai tua.
***
Bab 12. "Persiapan untuk Tahun Baru". Halaman 1199.
"Nak, tahun baru nanti, kita..."
"Ke tempat Ibu, Yah. Terus, pulang!"
***
Tahun Baru. 01.01.2021.
Senja tadi. Pak Agus bejalan pelan, mengiringi langkah kaki Romi. Mbak Sari dan Yanto menemani anakku. Menunggu tangan kecil itu, selesai menabur kelopak mawar merah di tanah yang basah.
Kubur ibunya. Dan kuburku.
Curup, 02.01.2021
[ditulis untuk Kompasiana]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI