"Terong belum dapat, Mak!"
Amak belum bersuara. Masih berdiri di pintu. Aku turun dari motor, seraya mengangkat karung kecil berisi timun. Bunyi sandal Amak menyusul ke dapur. Tangan kanannya menjinjing kantong plastik besar warna putih berisi tempe.
"Coba cari di Pasar Atas. Sekalian beli lagi styrofoam!"
"Iya."
"Sempatkan mampir ke Mang Gani. Besok antarkan sayur selada dan cabai hijau, sebelum jam Sembilan!"
Aku berbalik ke depan rumah. Memutar motor menghadap ke jalan. Kunci motor, kembali kuputar ke arah kiri, saat terdengar teriakan dari dalam rumah. Amak melangkah cepat ke arahku.
"Sepertinya, tomat ditambah dua kilo lagi. Amak khawatir, nanti..."
"Iya, Mak. Ada lagi?"
"Hati-hati!"
***
"Besok pagi, coba pergi ke Kampung Delima!"
Kakiku baru selangkah melewati pintu dapur. Amak menatapku, menunggu. Kulihat tangan tua itu tak henti bergerak. Cekatan memisahkan cabai dari tangkainya. Kuambil bangku kayu, duduk di samping Amak. Kuikuti gerakan tangan cekatan itu.
"Pasar kaget di kampung Delima, sore, Mak!"
"Oh! Terus, ke mana lagi mencari terong?"
"Desember, bulan hujan, Mak! Banyak tanaman gagal panen. Termasuk terong!"
"Apa jadinya, jika tanpa terong?"
Bagi Amak. Irisan terong yang digoreng tipis itu, bukan pelengkap menu ayam geprek, tapi syarat mutlak! Dalam rumus Amak. Keberadaan terong, setara dengan nasi dan cabai hijau.
Tempe goreng bisa diganti tahu goreng. Sayur selada bisa diganti daun kemangi atau irisan sayur kol. Timun bisa diganti irisan tomat besar. Saat harga ayam melambung tinggi, Amak pun pernah menggantinya dengan ikan lele dan ikan nila.
Tapi pengganti terong? Tak ada satu pun, jenis sayuran yang mampu menggantikan posisi istimewa terong, di pikiran Amak.
***
"Jangan pernah anggap remeh khasiat terong! Mengendalikan kadar gula darah, mengendalikan kolestrol, bisa mencegah kanker, berguna untuk..."
Aku hapal kalimat itu. Sudah tujuh tahun berlalu, sejak Amak memutuskan berjualan ayam geprek. Kata terong seperti mantra bagi Amak.
Pernah sekali waktu Amak mencoba menanam sendiri terong di dalam plastik bekas deterjen. Tapi gagal! Amak pun pernah nekad memodali Mang Gani untuk menanam terong, agar persediaan terong tetap tersedia.
Saat panen, Amak kebingungan! Pelanggan ayam geprek sepi. Di saat yang sama, panen terong berlimpah. Amak pun harus rela menjual terong dengan harga murah. Dua hari Amak mengurung diri. Menyesali modal yang tak kembali.
"Usai subuh, kau potong dan bersihkan semua ayam!"
"Limapuluh ekor, kan?"
"Tambah lagi lima ekor, sebagai bonus. Setelah itu, cari terong! Harus dapat, bagaimanapun caranya!"
Dapur seketika sunyi. Amak kembali memisahkan cabai hijau dari tangkainya yang tinggal sedikit. Aku segera berdiri.
"Kau mau ke mana?"
"Mencuci timun, Mak!"
"Oh!"
***
Azan magrib menyambutku, saat roda depan motorku memasuki halaman rumah. Satu karung besar berisi terong, hasil pencarian hampir satu hari, perlahan kuletakkan di depan pintu. Tak ada tanda-tanda kesibukan di dalam rumah.
Perlahan kubuka pintu. Tak juga ada suara menjawab ucapan salam. Akupun memilih diam, sambil menarik karung besar berisi terong. Tertatih melangkah menuju dapur.
Amak duduk di bangku kayu. Di hadapan sebaskom potongan ayam yang subuh tadi kubersihkan. Mata tua itu menatapku.
"Besok, Amak tak jadi memilih Pak Aji!"
Tangan Amak mengeluarkan selembar surat dari dalam amplop putih. Kemudian menyerahkan padaku. Kubaca perlahan, dan menghadirkan amarah yang tertahan.
"Kenapa tiba-tiba dibatalkan?"
"Ketua Tim Sukses memilih nasi bungkus, Nak!"
"Uang panjar Amak kembalikan?"
"Iya. Tapi Amak minta ganti rugi seharga sekarung terong dan pengganti minyak motormu!"
Amak bergerak meninggalkan dapur. Aku belum lagi sempat berpikir, Amak kembali, tapi berhenti di pintu dapur. Ada senyuman Amak untukku.
"Mang Gani sejak siang, keliling TPS! Sudah dapat lima belas. Masing-masing pesan dua puluh kotak!"
Aku bangkit dari duduk. Bergegas melangkah ke arah Amak berdiri.
"Aku pergi lagi, Mak! Temanku banyak anggota KPPS! Siapa tahu juga mau pesan!"
"Tapi terong itu belum kau bersihkan?"
Kuraih tangan Amak. Kuajukan ke dahi. Melangkah cepat menuju pintu ruang tamu. Terong itu, masih bisa menungguku.
Curup, 07.12.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H