Kakiku baru selangkah melewati pintu dapur. Amak menatapku, menunggu. Kulihat tangan tua itu tak henti bergerak. Cekatan memisahkan cabai dari tangkainya. Kuambil bangku kayu, duduk di samping Amak. Kuikuti gerakan tangan cekatan itu.
"Pasar kaget di kampung Delima, sore, Mak!"
"Oh! Terus, ke mana lagi mencari terong?"
"Desember, bulan hujan, Mak! Banyak tanaman gagal panen. Termasuk terong!"
"Apa jadinya, jika tanpa terong?"
Bagi Amak. Irisan terong yang digoreng tipis itu, bukan pelengkap menu ayam geprek, tapi syarat mutlak! Dalam rumus Amak. Keberadaan terong, setara dengan nasi dan cabai hijau.
Tempe goreng bisa diganti tahu goreng. Sayur selada bisa diganti daun kemangi atau irisan sayur kol. Timun bisa diganti irisan tomat besar. Saat harga ayam melambung tinggi, Amak pun pernah menggantinya dengan ikan lele dan ikan nila.
Tapi pengganti terong? Tak ada satu pun, jenis sayuran yang mampu menggantikan posisi istimewa terong, di pikiran Amak.
***
"Jangan pernah anggap remeh khasiat terong! Mengendalikan kadar gula darah, mengendalikan kolestrol, bisa mencegah kanker, berguna untuk..."
Aku hapal kalimat itu. Sudah tujuh tahun berlalu, sejak Amak memutuskan berjualan ayam geprek. Kata terong seperti mantra bagi Amak.