Apakah pakaian itu?
Pertanyaan ngeyel ini, terkadang perlu dipikir ulang. Setidaknya menurutku sebagai orangtua yang memiliki anak berusia remaja. Saat menyigi beragam mode pakaian anak muda yang lagi hits saat ini.
Jika berpijak pada asal kata. Pakaian adalah sesuatu yang dipakai. Apapun bentuk dan modelnya. Jika digunakan, maka dianggap pakaian. Jadi, tak hanya baju, yang sepakat dianggap pakaian, kan?
Ilmu pengetahuan bisa dijadikan pakaian. Pemahaman keagamaan atau keyakinan juga pakaian. Cara bersikap dan berprilaku pun termasuk pakaian. Kenapa? Karena digunakan!
Pertama. Pelindung
Ini bisa dilihat pada fungsi awal baju. Sebagai pelindung dari perubahan cuaca juga bermacam ancaman serangga. Misal? Ketika cuaca hujan, pakaian tebal, jaket atau mantel difungsikan. Namun, memilih pakaian panjang bisa melindungi kulit dari terbakar sinar matahari, kan?
Kedua. Penutup
Pernah dengar penutup aurat? itu salah satu fungsi pakaian. Aurat itu tak hanya organ tubuh yang sensitif. Pakem aurat setiap individu akan berbeda. Tergantung ruang kepentingan, kepercayaan serta keyakinan pribadi masing-masing, kan?
Ketiga. Pembeda
Fungsi ini, gampang dilihat dari seragam sekolah, pilihan busana orang berada atau tiada, baju anak buah atau bapak buah! Namun, ini hanya ukuran fisik!
Biasanya, Orang-orang pintar dan Pemuka Agama, lebih mengutamakan "pakaian" keilmuan dan pengetahuan keagamaan. Dan itu jadi pembeda, tah?
Umumnya, permasalahan tentang pakaian terjadi gegara perbedaan cara pandang!
Ada yang menggunakan pakaian berlapis dan tertib. Dimulai dari pakaian dalam, pakaian luar hingga jas, jaket, mantel dan seterusnya.
Namun, Superman menjadi tokoh Superhero dan terkenal. Padahal urutan pakaiannya gak sama. Sehingga pakaian dalamnya yang berwarna merah kelihatan.
Ada juga yang sudah berpakaian lengkap, tapi terlihat telanjang! Atau sebaliknya. Sepertinya telanjang, padahal berpakaian.
Kenapa begitu? Karena memaknai "Pakaian" tak lagi sebatas fungsi pakaian. Namun perbedaan nilai dan cara pandang tentang pakaian. Akhirnya melahirkan Gaya Hidup.
Sesungguhnya, tak hanya pakaian. Tempat makan dan jenis makanan pun, sudah menjadi gaya hidup. Tak lagi sebatas untuk memenuhi kebutuhan tubuh atau menuntaskan rasa lapar.
Aku ceritakan saja pengalamanku, ya?
Dulu. Aku sempat ikut satu kegiatan, karena dianggap tamu istimewa, aku diajak menginap di hotel berbintang yang menghadap ke lautan. Kebagian kamar di lantai 58.
Di kampungku, rumah paling tinggi hanya berlantai 3. Di atasnya, hanya ada menara masjid serta tower milik Telkom. Jadi, bisa dibayangkan rasa banggaku, yang besar di lingkungan hutan, kan? Jangan tertawa, ya?
Pukul tujuh pagi, aku ditanya oleh panitia, apakah mau sarapan di restoran hotel atau diantarkan ke kamar?
Sebagai orang kampung yang menjunjung tinggi rasa ingin tahu dan rasa penasaran. Maka kuputuskan untuk pergi ke restoran hotel. Tentu saja ditemani, mungkin lebih tepatnya dikawal. Agar tak kesasar.
Apa yang terjadi?
Di atas piring tipis yang lebar dan cantik itu, tersaji oseng-oseng kuning telur. Di sampingnya, tergeletak 5 irisan rebusan kentang setengah matang. Serta segelas jus jeruk dan sebuah apel!
Mataku perih menatap ukuran sendok dan garpu yang besar. Kukira, 3 kali sendok, kuning telur di atas piring itu langsung habis! Jemariku serasa enggan mencomot kentang rebus dengan saos tomat.
Ibuku pasti marah, kalau tahu pagi-pagi aku sudah minum jus jeruk! Hukumnya, makan nasi dulu agar tak sakit perut! Buah apel? Selain pisang, aku tak begitu suka buah-buahan.
Aih! Aku segera merindukan nasi goreng, potongan lontong, nasi uduk, mi ayam atau beragam gorengan! Ternyata, hotel berbintang tak menyediakan itu! Hiks...
Sambil menghabiskan sarapan yang tersedia, aku merenungkan nasibku, juga masa depan perutku. Satu-satunya harapanku, adalah menunggu waktunya makan siang biar kenyang!
Sebagai penunda rasa lapar, saat acara, kuminta ke panitia agar disediakan segelas kopi. Tahukah yang tersaji? Segelas kopi tanpa bubuk dengan gelas bertangkai yang indah, tapi ukuran kecil. Gulanya dicetak kotak-kotak!
Saat makan siang. Kupilih diantarkan ke kamar, biar kuhabiskan semua yang terhidang! Kalau di restoran hotel, pasti malu minta tambah, kan?
Benar saja! Kulihat beberapa potongan roti, aneka jenis selai, racikan aneka sayur dan dua jenis potongan tipis-tipis daging rebus dan panggang. Minumnya? Kembali jus! Hiks...
Anganku tersakiti, memikirkan siksaan tiga hari berikutnya. Akankah aku bertahan? Aku tak lagi memikirkan, sajian makan malam. Kukira bakal beda-beda tipis!
Aku membayangkan Nasi Padang dengan menu rendang atau dendeng balado. Walau hanya dikemas dalam potongan Koran bekas, dan diikat dengan karet gelang. Biarlah tak menginap di hotel berbintang. Namun bikin kenyang!
Hematku. Pakaian, tak hanya sehelai kain yang melekat di tubuh. Namun keyakinan dan kepercayaan, ilmu pengetahuan, nilai-nilan etika yang hidup di masyarakat pun termasuk pakaian.
Perbedaan cara pandang dalam memaknai pakaian, yang kemudian melahirkan gaya hidup. Seperti halnya, kuceritakan gagap budaya yang kualami, saat berjuang menikmati makanan di hotel berbintang.
Terkadang, Pakaian dan makanan adalah jebakan gaya hidup. Hingga melupakan esensi dari hidup itu sendiri.
Curup, 29.10.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H