"Bukannya Pak Arif masih hidup?"
"Karena mereka pemenang, Bu!"
Kutinggalkan Ibu. Bergegas ke dalam rumah, kembali menuju kamar. Diam-diam, aku berhutang malu pada ibu. Hasan, temanku di SMA itu sudah menjadi bupati. Aku masih saja berkutat menyelesaikan skripsi.
Sesungguhnya, aku tak peduli apa pun cara Hasan menggantikan ayahnya sebagai bupati. Itu urusan mereka berdua dengan para pemilih, pendukung, juga Tuhan keduanya, kan?
Aku hanya memikirkan kebijakan Hasan itu, padahal baru setahun menjadi Bupati. Bukan tentang penggunaan nama ayahnya. Menurutku, mengganti nama jalan bukan urusan sepele!
***
Aku ingat cerita ayahku di masa Orde Baru. Sebagai pegawai pos, Ayah berkali tersesat dan terlambat mengantarkan surat atau paket. Gara-gara bupati yang baru menjabat, mengubah seluruh nama jalan yang menggunakan nama pahlawan.
Jalan di depan kantor bupati, sebelumnya jalan Sudirman diganti dengan jalan Proklamasi. Di depan rumah, dulu adalah jalan Kartini, ditukar dengan nama Jalan Merdeka. Bilang ayahku, alasan bupati tentang perubahan itu sederhana, kita sudah lama merdeka.
Kesusahan akibat pergantian nama jalan itu. Ternyata tak hanya dirasakan ayahku. Aku dan beberapa teman yang dekat rumah, terlambat memberikan data alamat rumah untuk syarat ijazah. Karena alamat orangtua di Kartu Tanda Penduduk berbeda dengan alamat rumah yang sebenarnya.
Dampak itu terus berlanjut. Â Kali ini, semua toko yang berada di sepanjang jalan di dekat rumahku. Toko-toko itu harus membuat ulang papan merek toko baru dengan alamat yang baru. Kuduga, tak hanya papan merek. Kartu nama, cap stempel serta nota juga kuitansi harus diubah, kan?
Terkecuali, warung bakso Mang Midi yang persis berada di sebelah rumah. Lidah dan ingatan para pelanggan sudah lekat dengan sebutan "Bakso Kartini".