"Sejarah adalah milik para pemenang."
Pernah mendengar pameo itu? Maka yang layak dianggap pahlawan atau siapa saja yang ditetapkan sebagai pecundang, acapkali ditentukan oleh pemenang.
Delapan tahun tahun lalu. Jalan beraspal di depan rumahku, riuh oleh teriakan dan gemuruh tepuk tangan. Orang-orang mengelu-elukan nama Hasan Arif, anak dari Arif Susilo.
"Mulai hari ini, kita bagian dari sejarah!"
Kau harus tahu. Arif Susilo adalah Bupati selama dua periode, sebelum digantikan Hasan. Anak tertua, yang dikenal masyarakat sebagai pengusaha.
***
Aku mengingat pagi itu, sekitar pukul sembilan. Kulihat di balik kaca jendela, ada iringan mobil berbagai jenis berhenti. Puluhan pejabat dengan beragam seragam, segera memenuhi jalan di depan rumah. Kukira arus lalu lintas pun ditutup sementara. Orang-orang bergegas dan berlarian. Sibuk sekali.
Tak lama. Hanya tiga puluh menit. Orang-orang itu pun menghilang. Jalanan beraspal kembali sepi. Tepat di samping pintu pagar rumahku. Sudah berdiri kokoh satu tiang besi, dipasang adukan semen dengan tergesa. Sebaris nama dengan huruf besar bertengger di puncak tiang. ARIF SUSILO.
"Ada acara apa? Eh, Palang jalan baru, ya?"
"Iya, Bu. Nama jalannya, diganti."
Ibu berdiri di sampingku. Matanya memperhatikan tiang yang berdiri tenang, menantang matahari siang.
"Bukannya Pak Arif masih hidup?"
"Karena mereka pemenang, Bu!"
Kutinggalkan Ibu. Bergegas ke dalam rumah, kembali menuju kamar. Diam-diam, aku berhutang malu pada ibu. Hasan, temanku di SMA itu sudah menjadi bupati. Aku masih saja berkutat menyelesaikan skripsi.
Sesungguhnya, aku tak peduli apa pun cara Hasan menggantikan ayahnya sebagai bupati. Itu urusan mereka berdua dengan para pemilih, pendukung, juga Tuhan keduanya, kan?
Aku hanya memikirkan kebijakan Hasan itu, padahal baru setahun menjadi Bupati. Bukan tentang penggunaan nama ayahnya. Menurutku, mengganti nama jalan bukan urusan sepele!
***
Aku ingat cerita ayahku di masa Orde Baru. Sebagai pegawai pos, Ayah berkali tersesat dan terlambat mengantarkan surat atau paket. Gara-gara bupati yang baru menjabat, mengubah seluruh nama jalan yang menggunakan nama pahlawan.
Jalan di depan kantor bupati, sebelumnya jalan Sudirman diganti dengan jalan Proklamasi. Di depan rumah, dulu adalah jalan Kartini, ditukar dengan nama Jalan Merdeka. Bilang ayahku, alasan bupati tentang perubahan itu sederhana, kita sudah lama merdeka.
Kesusahan akibat pergantian nama jalan itu. Ternyata tak hanya dirasakan ayahku. Aku dan beberapa teman yang dekat rumah, terlambat memberikan data alamat rumah untuk syarat ijazah. Karena alamat orangtua di Kartu Tanda Penduduk berbeda dengan alamat rumah yang sebenarnya.
Dampak itu terus berlanjut. Â Kali ini, semua toko yang berada di sepanjang jalan di dekat rumahku. Toko-toko itu harus membuat ulang papan merek toko baru dengan alamat yang baru. Kuduga, tak hanya papan merek. Kartu nama, cap stempel serta nota juga kuitansi harus diubah, kan?
Terkecuali, warung bakso Mang Midi yang persis berada di sebelah rumah. Lidah dan ingatan para pelanggan sudah lekat dengan sebutan "Bakso Kartini".
Jadi, walau sudah berganti dengan nama jalan Merdeka, penikmat bakso Mang Midi masih betah menyebutnya dengan nama "Bakso Kartini" atau "Bakso Kartini Merdeka".
***
Cerita ayahku itu berulang, usai Hasan mengganti nama jalan di depan rumahku, dari jalan merdeka menjadi jalan Arif Susilo delapan tahun lalu. Ada pengantar surat atau paket yang tersesat dan terlambat bersebab alamat baru, toko-toko yang kembali tampil dengan papan merek, cap, nota yang baru.
Pergantian Kartu Nama, Kartu Tanda Penduduk juga pasti terjadi. Dan itu membuat sibuk seluruh RT, pegawai kelurahan serta Dinas Dukcapil. Pasien di rumah sakit juga kesulitan mengurus asuransi kesehatan, karena alamat tempat tinggal yang berbeda.
Begitulah! Pergantian nama jalan, tak sesederhana acara peresmian, kan?
***
Satu hal lagi. Dulu, pernah ada perempatan jalan yang dikenal warga dengan sebutan Simpang Tugu Pahlawan. Karena ada dua patung pejuang yang berdiri kokoh memegang bambu runcing. Di bawahnya, ada tulisan "Tugu Peringatan Agresi Militer II tahun 1949"
Awal periode kedua sebagai bupati, Hasan mengganti patung itu dengan replika besar Piala Adipura. Di sekitarnya dibangun taman kota berbentuk bundar. Ditanami dengan aneka bunga.
"Kau tahu? Tembok Berlin dan Patung Lenin juga tinggal sejarah, kan?"
Aku memilih diam, ketika Hasan dengan berapi-api menjelaskan. Bagi Hasan, walau hanya simbol, generasi muda harus tahu. Jika ingin menjadi negara maju. Jangan sampai mereka hanya mengingat negara ini, berdiri dengan genangan darah, kekerasan atau kekuatan senjata.
Sejak saat itu, Simpang Tugu berganti nama menjadi Simpang Bundaran. Saat malam, akan terlihat lampu warna-warni. Indah memang!
Setiap malam, apalagi di malam minggu. Simpang Bundaran itu menjadi titik kumpul anak-anak muda hingga larut malam. Akan terlihat, berbagai jenis kendaraan roda dua dan empat terparkir rapi menguasai badan jalan. Aku dan warga kota sudah tahu, jika keluar di malam minggu, mesti menghindar jalur bundaran.
***
Malam tadi, tanpa janji seperti biasa. Hasan menelepon. Aku tahu, misi tersembunyi Hasan di masa akhir tugasnya.
"Aku pasti mendukungmu, Bro! Semua orang-orangku ada di belakangmu"
"Terima kasih."
"Sesaat lagi, sejarah milikmu."
Telpon terputus. Aku tahu, sejarah Hasan akan segera berakhir. Menurut perhitungan pasti tim, aku yang akan menggantikan. Giliran sejarahku.
"Hasan lagi?"
"Iya, Bu."
"Cerita apa?"
"Tak ada. Hanya sejarah."
Jika nanti terpilih, aku tak akan pernah seperti Hasan. Mengubah bahkan menghilangkan sejarah. Ibuku pun tak perlu cemas apalagi ragu. Aku tahu yang harus kulakukan.
Setidaknya, biarlah nanti ibu sendiri tahu. Nama ayahku, akan tertera sebagai nama jalan di depan rumah ibu. Hanya itu.
Curup, 26.10.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H