***
"Kau, kau dan kau. Lebih terhormat dari mereka yang mengaku sebagai wakil rakyat!"
Jari telunjuk Anton bergantian diarahkan pada Romi, Nasir juga aku. Gelas-gelas berkopi itu selalu menjadi saksi ritual pagi, ketika penumpang sepi.
"Di Televisi, mereka berkoar mengatasnamakan rakyat. Mengaku berjuang dan...."
Semua anggota sudah hapal, kebiasaan itu. Apalagi jika pagi hari rabu. Namun ada yang tak biasa. Pagi itu, ledakan-ledakan Anton begitu dahsyat.
"Apa susahnya hadir dan menjelaskan kepada rakyat? Agar tak ada api dalam sekam. Apakah harus menunggu jatuh korban, barulah buru-buru serta sibuk memberikan penjelasan?"
Aih, aku jadi tahu pemicu ledakan Anton. Malam rabu lalu, acara favoritnya itu batal tayang.
Kau mungkin tak tahu. Secara diam-diam, sejak resmi menjadi anggota pangkalan, aku berusaha mengikuti acara diskusi di televisi itu. Alasanku persis sama dengan anggota yang lain. Agar bisa mengerti pembicaraan mantan aktivis itu.
"Wakil rakyat itu, harus benar-benar mewakili! Tahu dan mengerti yang dirasakan oleh rakyat. Menjaga amanah! Mereka dipilih bukan dilotre! Pernah dengar lagu itu, kan?"
Kuakui. Letusan-letusan Anton itu, adalah pembuktian jika dirinya bekas anggota parlemen jalanan, juga sebagai orator ulung saat reformasi. Tapi, itu dulu.
Kini, Anton memutuskan kembali ke jalanan. Bukan sebagai anggota parlemen, tapi pendiri dan pemimpin di pangkalan.