"Jadi, masih perlukah politikus?"
Perbincangan itu menjadi sunyi. Hanya dengan satu pertanyaan! Perlahan namun pasti, membunuh kehangatan yang sejak tadi betah menemani. Mungkin juga, kembali bersembunyi dalam gelas-gelas berkopi.
Gelas-gelas berkopi itu terpaksa menjadi saksi. Ketika beragam kisah demonstrasi yang disaksikan di layar televisi, kembali diulas ulang dalam berbagai versi. Sambil menunggu penumpang yang sepi.
Kau harus tahu. Jika Anton bersuara dengan nada begitu, aku lebih memilih menunggu. Bagiku, pertemanan lebih penting dari sekadar memenangkan perdebatan.
"Sesungguhnya, mereka tak punya kerja. Dan butuh perkerjaan! Namun enggan disebut pekerja!"
***
Begitulah. Baru tiga bulan aku mengenal Anton, sejak terdaftar sebagai anggota di Pangkalan Ojek Simpang Tugu. Anton salah satu pendiri sekaligus anggota senior pangkalan.
Akupun diberitahu, Anton memiliki ijazah sarjana, dan aktivis kampus semasa awal reformasi. Pernah bekerja di perusahaan sebagai pegawai kontrak, membuat serta terlibat dalam beberapa LSM. Akhirnya memilih berhenti dan mendirikan pangkalan.
Tak perlu kau tanyakan idealisme Anton. Nyaris setengah anggota pangkalan dikeluarkan, karena memilih menjadi anggota aplikasi ojek online. Bagi Anton, pangkalan harus terbebas dari kekuasaan dan penguasa. Apalagi bersedia diatur-atur oleh benda semacam ponsel.
"Kebebasan itu mahal! Aku lebih memilih membentur tembok, daripada tunduk dan mengaku kalah pada kekuasaan juga kebutuhan. Memalukan!"
Jadi, tak usah heran jika kau mendengarkan pertanyaan tadi, kan? Jika Anton mempertanyakan tentang keberadaan politikus, aku malah membayangkan, apa yang akan terjadi andai tak lagi ada politikus?