Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mungkin Besok Cerpen Itu Aku Selesaikan

10 Oktober 2020   20:25 Diperbarui: 11 Oktober 2020   10:52 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lelaki dan ponsel (Illustrated by pixabay.com)

"Belajar tanpa berpikir itu tidaklah berguna, tapi berpikir tanpa belajar itu sangatlah berbahaya!"

Kali ketiga kubaca kalimat Bung Karno itu. Namun, tak kutemukan satu kata awal yang bisa menjadi benang merah, untuk melanjutkan ke paragraf berikutnya.

Pagi tadi kuputuskan membuat cerita pendek. Usai menyimak siaran berita di televisi tentang maraknya aksi demo terkait undang-undang yang baru. Serta membaca percakapan yang menjurus perdebatan teman-teman di grup Whatsapp.

Sejak sesudah sholat ashar hingga menjelang maghrib, cerpen itu belum juga selesai.

***

"Hei bangun!"

"Hah?"

Tanpa suara, tanganku ditarik Agil menuju ruang tamu. Beberapa wajah yang tak asing, sejak beberapa aksi terakhir, serius menghadap layar televisi hitam putih. Aku pun melihat tayangan gulungan kawat berduri serta barisan aparat berpakaian lengkap di kawasan Monas.

"Bagaimana? Batalkan?"

"Tapi itu di Jakarta, Bro!"

"Bakal sama dengan di sini, kan?"

Esok, bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional. Akan dilakukan Aksi Nasional dan Doa Bersama. Termasuk di Kota Padang. Kulihat jam yang tergantung di dinding. Nyaris pukul dua dini hari.

"Kumpulkan semua korlap! Di tempat biasa!"

"Kenapa tidak di sini?"

"Jangan! Gampang diciduk! Tiga puluh menit, bisa?"

Agil segera pergi sambil mengajak beberapa orang. Tempat biasa itu, adalah tepi pantai Padang. Persis di belakang kampus Universitas Bung Hatta Padang. Lokasi yang memanjang mengikuti garis pantai serta banyak jalur tikus, pilihan paling logis dan strategis menghindari pantauan aparat.

 

***

Tujuh pasang mata menatapku. Wajah-wajah lelah. Nyaris satu minggu hidup berpindah-pindah. Sekadar untuk tidur, menyusun rencana aksi serta berdiskusi dan bernegosiasi dengan banyak pihak.

"Info terakhir. Rombongan Solok, Bukittinggi dan Batusangkar usai subuh berangkat!"

Agil mereguk kopi dari bungkusan plastik di tangannya. Tak lagi ada suara dari yang lain. Semua menunggu.

Debur ombak sibuk bercengkrama dengan angin. Menunggu pertukaran peran. Dari angin laut, menjadi angin darat. Di kejauhan, titik-titik lampu perahu nelayan terlihat samar.

"Coba cek lagi titik aksi!"

"Kantor Gubernur, Kantor DPRD, Stasiun TVRI dan RRI, kan?"

"Terminal?"

"Lah? Kenapa..."

"Teman-teman itu naik bus, kan?"

Wajah Agil terkejut. Kemudian anggukkan kepala tanda mengerti. Kembali kulihat wajah-wajah saling bertukar pandang, tetap tanpa suara.

"Sekarang bentuk dua tim."

"Maksudnya?"

"Cegat bus dari Solok di Indarung, dekat Pabrik Semen Padang. Arahkan ke Unand! Yang dari Bukittinggi dan Batusangkar tunggu di dekat Bandara Tabing. Ajak berhenti di UNP. Aparat tak berani masuk kampus!"

Dari kejauhan. Sayup terdengar azan subuh. Empat orang yang sudah ajukan diri. Bersiap untuk berangkat menuju dua titik. Pabrik Semen Padang dan Bandara Tabing.

"Hati-hati! Bilang ke teman-teman yang baru datang, jaket almamater disimpan dulu. Pakai jika sudah di lokasi. Ingat! Tunggu komando!"

"Siap!"

***

Aksi Nasional dan Doa Bersama tanggal 20 Mei 1998 itu tak pernah terjadi. Pukul enam pagi, melalui siaran RRI, Amien Rais meminta mahasiswa menjauhi kawasan Monas. Agar tak terulang tragedi Trisakti. 

Di Padang. Empat titik aksi berhasil dikuasai. Tanpa anarki. Aksi dinyatakan berhenti, usai Presiden Suharto menyatakan pengunduran diri pada tanggal 21 Mei 1998.

Aku dan beberapa teman kembali ke kampus. Berjibaku menyelesaikan studi. Dan bertahun-tahun sesudahnya, menertawakan orang-orang yang sibuk berujar, "Kita akan mengawal reformasi'.

***

"Belum selesai, Yah?"

"Kenapa? Abang mau pakai ponsel?"

"Iya. Abang belum setoran, Yah!"

Tak lagi menunggu. Kuserahkan ponsel ke si Sulung. Kukira, lebih penting ponsel itu bagi anakku untuk belajar.

Mungkin besok, cerpen itu aku selesaikan. Atau kubiarkan mengendap tenang. Setelah pikiranku kembali tenang.

Curup, 10.10.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun