Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Sepatu Baru Berwarna Biru

29 September 2020   17:43 Diperbarui: 29 September 2020   18:34 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Jangan dibuang! Itu masih bisa dipakai!"

Aku terkejut. Secepat mampu, kedua tangan Ibuku meraih sepasang benda usang yang tergeletak di lantai. Sepatu hitam itu, sudah aman di dalam kantong plastik yang juga berwarna hitam.

Tiga tahun, sepatu itu setia melindungi kakiku dari pecahan kaca botol minuman di depan pintu, yang dilemparkan pelanggan yang marah. Karena ditolak bertamu melewati pukul satu dini hari.

Sepasang alas kaki yang menjaga kakiku tetap bersih, dari tanah becek dan genangan air sisa hujan yang menciptakan lubang dan kubangan sepanjang jalan. Kalah dalam pertarungan dengan roda-roda berbagai truk bermuatan penuh dan berat, yang bergantian melintasi dan membebani.

Sepatu itu, kubeli dari kumpulan uang-uang receh hasil pemberian dari sopir truk, sebagai upah membersihkan kaca dan spion truk yang berhenti di depan warung.

"Tapi, sudah kekecilan, Bu!"

"Simpan saja. Untuk adikmu, nanti!"

Aku diam. Terpaku, memandang sepatu baru berwarna biru di kakiku. Sebagai kejutan untukku.

***

"Maafkan aku. Jaga ibumu, ya?"

Tubuh kurus lelaki itu memelukku. Terdengar helaan nafas berat di telingaku. Perlahan, pelukan itu semakin erat. Kurasakan basah di bahu. Aku tahu, lelaki itu mengeluarkan air mata. Tangisan laki-laki. Tak mampu menyimpan luka.

Akupun tahu, itu adalah mimpi. Tapi, pertama kali, lelaki itu mengunjungi. Setelah tujuh tahun pergi.

Wajah Om Tagor hadir. Sosok yang selalu bersikap terlalu baik kepadaku juga ibu. Berganti senyum Mas San, yang diam-diam acapkali mencuri pandang pada  ibu. Dan sering memberi uang lebih, usai kubersihkan kaca dan spion truk miliknya. Pagiku menyisakan jejak air mata di mata.

***

Pagi masih berembun. Aneka bungkus dan puntung rokok, botol-botol plastik dan pecahan botol minuman, seharusnya adalah ucapan selamat bangun tidur untukku. Namun tidak, setelah keberadaan sepatu baru itu.

Dari balik kaca jendela, kulihat ibu mengayunkan sapu lidi ke tanah bekas hujan semalam di sekitar warung. Memasuki hari ketiga, aku menyatakan perang dengan diam kepada ibu.

Bergegas, kucuci muka. Berganti baju dan memakai sepatu hitam. Tanpa suara, berjalan terburu melewati pintu. Langkahku terhenti, saat terdengar suara ibu.

"Tak sarapan dulu?"

Ibu menatapku. Perlahan sepasang mata itu beralih pada bawaan di tanganku. Namun, kudapati wajah luka, ketika tatapan itu bermuara di kakiku. Diam kupilih sebagai penguasa pagi itu.

"Kau masih..."

Tak lagi ada yang perlu didengar. Kubiarkan suara ibu ditelan sepi udara pagi.

Bagiku, secepatnya ke kios Bang Udin, mengambil koran pagi. Dan berlama-lama mengantarkannya ke rumah para pelanggan. Kemudian pulang ke rumah, setelah pukul sepuluh malam.

***

Aku dicegat Paklik Karso di depan warung. Tangan kekar sopir truk itu, menggenggam erat tanganku. Menarik pelan, agar langkahku mengikuti gerak tubuhnya ke dalam rumah. Sekilas, kulihat ibu sibuk melayani beberapa pelanggan. Para sopir truk.

"Kau dari mana?"

"Antar koran, Paklik! Tadi hujan, kan?"

"Sampai malam?"

Kupilih diam sebagai pertahanan terbaik. Aku hapal nada suara Paklik Karso. Dua pertanyaan itu, lebih dari cukup sebagai tanda. Sosok lelaki di hadapanku, satu-satunya adik ibu, sedang dikuasai amarah.

"Kenapa kau diamkan ibumu?"

***

"Bangun, Nak!"

Setelah tiga hari kuabaikan. Kali ini, suara ibu kuturuti. Aku bangkit dan duduk di sebelah Ibu.  Tangannya mengusap pelan kepalaku. Perlahan, aku tertunduk. Kaku.

"Masih marah?"

Kukira, gelengan kepala adalah jawaban yang diinginkan ibu. Tangan ibu menggenggam tanganku.

"Kau sudah tahu, dari siapa sepatu biru itu?"

"Paklik udah cerita."

"Jadi bukan sogokan Om Tagor atau Mas San!"

Sayup kudengar gemercik air hujan di luar rumah. Namun wajahku terasa panas. Malu. 

Tanpa suara, Ibu berjalan keluar kamar. Aku pun bergegas ke kamar mandi. Berganti baju dan menggunakan sepatu berwarna biru. Kuraih tangan ibu, yang menyongsongku keluar dari pintu. Sambil menyerahkan mantel hujan. Ada senyuman di wajah ibu.

"Aku pergi, Bu!"

"Jangan lupa bilang terima kasih ke Bang Udin!"

'Iya!"

Sepatu baru berwarna biru itu, bergerak lincah menghindari genangan air hujan, juga lubang-lubang di sepanjang jalan. Mengajakku segera bertemu Bang Udin.

Aku tahu. Selain mengucapkan terima kasih untuk sepatu biru itu. Aku pun ingin menyampaikan berita terbaru. Bang Udin masih berpeluang sebagai pengganti ayahku.

Curup, 29.09.2020

zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana dan Kompasianers]   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun