Akupun tahu, itu adalah mimpi. Tapi, pertama kali, lelaki itu mengunjungi. Setelah tujuh tahun pergi.
Wajah Om Tagor hadir. Sosok yang selalu bersikap terlalu baik kepadaku juga ibu. Berganti senyum Mas San, yang diam-diam acapkali mencuri pandang pada  ibu. Dan sering memberi uang lebih, usai kubersihkan kaca dan spion truk miliknya. Pagiku menyisakan jejak air mata di mata.
***
Pagi masih berembun. Aneka bungkus dan puntung rokok, botol-botol plastik dan pecahan botol minuman, seharusnya adalah ucapan selamat bangun tidur untukku. Namun tidak, setelah keberadaan sepatu baru itu.
Dari balik kaca jendela, kulihat ibu mengayunkan sapu lidi ke tanah bekas hujan semalam di sekitar warung. Memasuki hari ketiga, aku menyatakan perang dengan diam kepada ibu.
Bergegas, kucuci muka. Berganti baju dan memakai sepatu hitam. Tanpa suara, berjalan terburu melewati pintu. Langkahku terhenti, saat terdengar suara ibu.
"Tak sarapan dulu?"
Ibu menatapku. Perlahan sepasang mata itu beralih pada bawaan di tanganku. Namun, kudapati wajah luka, ketika tatapan itu bermuara di kakiku. Diam kupilih sebagai penguasa pagi itu.
"Kau masih..."
Tak lagi ada yang perlu didengar. Kubiarkan suara ibu ditelan sepi udara pagi.
Bagiku, secepatnya ke kios Bang Udin, mengambil koran pagi. Dan berlama-lama mengantarkannya ke rumah para pelanggan. Kemudian pulang ke rumah, setelah pukul sepuluh malam.