***
Aku dicegat Paklik Karso di depan warung. Tangan kekar sopir truk itu, menggenggam erat tanganku. Menarik pelan, agar langkahku mengikuti gerak tubuhnya ke dalam rumah. Sekilas, kulihat ibu sibuk melayani beberapa pelanggan. Para sopir truk.
"Kau dari mana?"
"Antar koran, Paklik! Tadi hujan, kan?"
"Sampai malam?"
Kupilih diam sebagai pertahanan terbaik. Aku hapal nada suara Paklik Karso. Dua pertanyaan itu, lebih dari cukup sebagai tanda. Sosok lelaki di hadapanku, satu-satunya adik ibu, sedang dikuasai amarah.
"Kenapa kau diamkan ibumu?"
***
"Bangun, Nak!"
Setelah tiga hari kuabaikan. Kali ini, suara ibu kuturuti. Aku bangkit dan duduk di sebelah Ibu. Â Tangannya mengusap pelan kepalaku. Perlahan, aku tertunduk. Kaku.
"Masih marah?"