Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Tiga Presiden

14 September 2020   20:10 Diperbarui: 15 September 2020   19:45 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi piano dan jam (sumber gambar : pixabay.com)

Duduklah!

Aku ingin ceritakan padamu, bagaimana mengemas sebuah sensasi. Mungkin sedikit lama. Jadi, nikmati dengan secangkir kopi. Jika kurang gula, pergilah ke dapur. Tambahkan sesuai inginmu. Kau mau?

Begini. Mungkin kau belum lahir, saat kisah ini hadir.

Pada tahun 1980, Jimmy Carter Presiden Petahana Amerika Serikat, dikalahkan oleh Ronald Reagan. Sebagai presiden ke-40 negara adidaya itu. Bagimu itu terdengar biasa?

Namun itu menjadi tidak biasa, jika dilakukan oleh seorang mantan aktor radio, film dan televisi, kan? Itu prestasi! Tentu saja diawali oleh sebuah sensasi!

Sebagai aktor, pasti Reagan menjadi tokoh publik, yang sekarang kau kenal dengan sebutan influencer. Ia menjadi penambang suara bagi beberapa calon presiden. Menjadi tim sukses yang militan dan tidak malu-malu sepertimu.

Hingga akhirnya, menjabat sebagai gubernur di California selama dua periode. Jika kau cari di google dengan ponselmu nama itu. Kau akan terkejut dengan jejak karir politiknya. Satu lagi. Reagan dilantik menjadi presiden pada usia 67 tahun!

Nanti saja kau baca! Sekarang dengarkan dulu ceritaku. Jangan lupa, kopimu diminum!

***

Aku ingin bertanya padamu. Apakah seorang tukang listrik menjadi presiden itu, sebuah sensasi?

Yup! Sepakat. Jalan hidup setiap orang tak bisa ditebak, kan? Itu yang dialami Lech Walesa. Dari seorang buruh pabrik galangan kapal, hingga menjadi Presiden Polandia. Jangan tanya padaku, tentang  negara itu. Kau bisa cari sendiri!

Aku hanya ingin bilang, Walesa menjadi sosok sensasional saat itu. Alasannya? Aku memberikan jawaban yang cukup logis padamu.

Ia orang pinggiran! Kelas pekerja yang mencelat ke permukaan. Tak hanya di negaranya, namun juga dunia. Nobel perdamaian tahun 1993 diraihnya. Alasan yang cukup, kan?

Aih, sudahlah! Kau tak perlu menghitung usiamu saat itu! Nanti aku yang malu. 

Tak usah tertawa! Jika kau anggap aku lucu. Maka kau akan tertawa jika kuceritakan tentang Volodymyr Zelensky. Presiden negara Ukraina, Kau baru mendengar nama itu?

Betul! Kau sepertiku. Karena suka sepakbola, kau lebih mengenal Andrei Shevchenko. Penyerang luar biasa dari klub Italia, AC Milan. Kitapun sama mengenal Klitschko bersaudara. Juara tinju dunia kelas berat.

Bahkan, Vitali Klitschko sekarang juga terjun ke dunia politik. Dan kau ingat? Ia seorang Doktor. Namun doktor itu presidennya si Zelensky! Kau tahu? Dia mantan pelawak! Haha...

Begitulah! Jejak langkah seseorang tak ada yang tahu muaranya. Kukira, tak seorangpun bisa membayangkan. Jika seorang aktor, tukang listrik atau pelawak bisa jadi presiden, kan? Namun Ada!

Terkadang, aku jadi berpikir. Menjadi presiden itu mudah! Eits, jangan membantah dulu. Oh, kau mau menambah kopimu? Iya. Sekalian isi lagi gelasku, ya?

***

Terima kasih. Kau tamu yang baik. Bisa kumulai lagi?

Ada tiga pelajaran dari tiga presiden tadi. Terlepas dari situasi dan kondisi, atau dukungan juga sokongan dana. Namun ini penting untuk kuceritakan padamu.

Pertama. Presiden itu mesti bisa dan mengerti drama. Mampu menghayati peran, beragam mimik wajah, mengatur nada suara, juga gerak tubuh. Bagaimana menghadirkan keyakinan dan kepercayaan dari orang banyak, tentang peran yang dimainkan.

Kedua. Presiden itu mesti mengerti listrik. Jadi tahu, bagaimana cara menghubungkan dan memutuskan. Mana yang lebih dulu diterangkan atau dipadamkan. Sangat tahu resiko yang akan terjadi. Jika keliru atau salah sambung, bakal terjadi konsleting atau kebakaran, kan?

Ketiga. Presiden itu, mesti mampu menghibur. Ketika rakyatnya bersedih, ia bisa hadir di tengah-tengah mereka dengan beragam lelucon, sehingga kesedihan hilang. Saat rakyatnya jenuh, humor segar dihadirkan. Agar rakyatnya kembali ceria dan semangat bekerja.

Nanti dulu. Jangan curiga! Aku tak menyindir siapapun! Jika kau berpikir begitu, itu hakmu.

Nah, tentu saja aku memiliki tujuan, saat menceritakan ini kepadamu. Kan, sebentar lagi Pilkada. Kau pun tahu. Aku tidak bisa mencalonkan diri lagi.

Selain itu, siapapun yang menang, akan turuti perintahku. Aku hanya ingin bertanya, kau ingin sepertiku?

Bagus! Tak usah. Situasi kali ini di luar kendali. Hanya sensasi, hampa prestasi.

Jadi, sebaiknya kau tetap denganku. Kau pasti aman bersamaku. Temani aku setiap hari minum kopi. Urusan keluargamu? Gampang! Kau tinggal sebut namaku, kan?

Curup, 14.09.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun