Pertama. Presiden itu mesti bisa dan mengerti drama. Mampu menghayati peran, beragam mimik wajah, mengatur nada suara, juga gerak tubuh. Bagaimana menghadirkan keyakinan dan kepercayaan dari orang banyak, tentang peran yang dimainkan.
Kedua. Presiden itu mesti mengerti listrik. Jadi tahu, bagaimana cara menghubungkan dan memutuskan. Mana yang lebih dulu diterangkan atau dipadamkan. Sangat tahu resiko yang akan terjadi. Jika keliru atau salah sambung, bakal terjadi konsleting atau kebakaran, kan?
Ketiga. Presiden itu, mesti mampu menghibur. Ketika rakyatnya bersedih, ia bisa hadir di tengah-tengah mereka dengan beragam lelucon, sehingga kesedihan hilang. Saat rakyatnya jenuh, humor segar dihadirkan. Agar rakyatnya kembali ceria dan semangat bekerja.
Nanti dulu. Jangan curiga! Aku tak menyindir siapapun! Jika kau berpikir begitu, itu hakmu.
Nah, tentu saja aku memiliki tujuan, saat menceritakan ini kepadamu. Kan, sebentar lagi Pilkada. Kau pun tahu. Aku tidak bisa mencalonkan diri lagi.
Selain itu, siapapun yang menang, akan turuti perintahku. Aku hanya ingin bertanya, kau ingin sepertiku?
Bagus! Tak usah. Situasi kali ini di luar kendali. Hanya sensasi, hampa prestasi.
Jadi, sebaiknya kau tetap denganku. Kau pasti aman bersamaku. Temani aku setiap hari minum kopi. Urusan keluargamu? Gampang! Kau tinggal sebut namaku, kan?
Curup, 14.09.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]