Ruang tamu sunyi. Aku tak pernah menemukan kasus serumit ini. Puluhan tahun, urusan kartu ucapan untuk merayakan kemerdekaan, selalu aman terkendali.
Begitu sulitkah menemukan pemilik tulisan tangan yang rapi dan indah di antara ratusan juta anak negeri? Ke mana perginya orang yang mengajarkan tulis-menulis? Apakah pada titik ini, aku kembali harus membenci kemajuan teknologi?
***
"Ini, Yah? Tulisan temanku. Baru contoh!"
Selembar kertas bermotif hitam putih diajukan padaku. Satu barisan panjang hasil tulisan tangan berwarna keemasan terpampang dengan indah. Di bawahnya, terpajang namaku. Lengkap dengan gelar. Aku tahu, anakku menunggu reaksiku.
Dirgahayu ke- 75 Republikku. Jaya Selalu di Darat, Laut dan Udara.
Aku terdiam. Kertas itu kembali kuserahkan pada anakku yang menatap cemas. Sejenak kubiarkan sunyi menguasai ruang tamu.
"Pertama, hapus namaku juga semua gelar itu!"
"Siap, Yah!"
"Kedua. Tahun ini tak usah dikirim. Buat satu saja. Tapi ukuran tujuh meter kali lima meter!"
"Maksud Ayah, mau dipajang di depan rumah?"