Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tuhan Sudah Tahu, Bude!

27 Juli 2020   17:44 Diperbarui: 27 Juli 2020   18:33 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar hati (sumber gambat : pixabay.com)

Tak pernah rugi jika berbagi. Namun pasti rugi jika tak pernah berbagi.

Kalimat ini, entah jatuh dari langit sebelah mana, atau butiran hikmah yang pernah kudengar dari orang-orang bijak. Yang pasti dua kalimat itu, berdengung kencang di kepalaku pagi tadi. Usai bertemu sosok Ajo dan Bude.

Dua pertemuan berbeda dengan dua sosok berbeda, tapi satu pokok bahasan yang sama. Tentang qurban. Aku tulis saja, ya?

Kisah Pertama. Keputusan Ajo.

Ajo. Biasa kusapa begitu. Lelaki paruh baya -tukang sol sepatu- yang biasa mangkal di simpang empat dekat rumah, menghentikan langkahku. Tanpa basa-basi, berucap maksudnya. Menanyakan karcis qurban.

"Lah? Ajo belum dapat? Nanti aku tanyakan ke Amak."

"Hamdallah, sudah."

Aku mengenal Ajo belasan tahun. Seseorang yang setia dengan profesi. Memiliki tiga anak, yang sudah menikah, serta seorang istri yang bekerja di warung nasi, sebagai tukang masak.

Karena Amak (Ibuku) lebih menguasai gosip dan keadaan teritorial di sekitar rumah. Maka Amak biasanya yang kuminta menyebar karcis qurban. Beliau bilang, Ajo tak pernah berlaku curang, "menimbun" diri dengan karcis qurban.

Mengalir cerita Ajo. Teman dekatnya -seorang kuli angkut- sekarang terkapar sakit. Kakinya terkilir saat mendorong gerobak barang. Biasanya, jika dapat dua atau lebih, maka Ajo akan berbagi. Hari ini, Ajo baru memiliki satu karcis. Malam tadi, temannya itu bertanya.

"Kalau aku berikan karcisku, Abang gak marah,kan?"

"Ya udah! Berikan aja! Agar niat Ajo sampai."

Aih, begitulah Ajo. Dengan alasan, karena istri bekerja di warung nasi, jadi sesekali masih bisa mencicipi rasa daging. Maka, jika tak ada lagi karcis, meminta persetujuanku untuk memberikan karcis itu ke temannya.

Tak ada raut wajah terkejut. Ajo tersenyum sambil mengangguk setuju. Setelah kujelaskan, saat hari H nanti, bakal diantarkan daging tanpa karcis.

Ilustrasi simbol memberi dan menerima(sumber gambat : pixabay.com)
Ilustrasi simbol memberi dan menerima(sumber gambat : pixabay.com)
Kisah Kedua. Tabungan Bude.

Karena membiasakan kepada anak-anak dengan sebutan "Bude Jamu". Maka bertahun, aku pun menyapa "pensiunan" penjual jamu keliling dengan gerobak itu, menggunakan sapaan "Bude".

Tak hanya menjual jamu, Beliau juga menjual rempeyek kacang. Aku dan anak-anak suka cemilan tradisional ini. Dulu, Beliau langgananku, walau tak rutin setiap hari aku minum jamu. Tapi, beliau pasti setiap hari lewati depan rumah.

Nah, Bude biasa menitipkan tabungan qurban. Jika sudah terkumpul selanjutnya, aku serahkan pada pengurus Masjid. Bisa lima ribu, atau sepuluh ribu satu hari. Terkadang, satu minggu setoran Bude duapuluh ribu. Dengan cara begitu, Bude beberapa kali ikut menjadi peserta qurban. 

Ajaibnya, saat waktu setoran qurban ditutup, setoran Bude selalu cukup!

Sejak korona, tanpa pilihan, Bude mengajukan pensiun dini kepada diri sendiri, atas permintaan dan larangan anak-anaknya. Akibatnya? Tabungan qurban Bude tersendat.

Pagi tadi, usai mengantar anakku sekolah, tak sengaja kulewati rumah Bude. Beliau memanggil dan memaksaku untuk singgah. Beberapa saat berbasa-basi karena sudah lama tak jumpa, sambil disuguhi segelas kopi. Topik beralih ke tabungan qurban.

"Di Aljihad, berapa ekor, Bang?"

"Kemarin, masih empat sapi, tiga ekor kambing!"

"Tahun ini, setoran dua dua, Bang?"

'Iya!"

Dua-dua itu, maksudnya dua juta duaratus ribu. Aku menyaksikan raut wajah Bude. Akupun mengerti dan memahami yang dirasakan juga dipikirkan perempuan di hadapanku.

Tak mungkin kucegah. Hadir ungkapan penyesalan Bude, kenapa harus ada pandemi korona. Menyesali informasi yang tertutup dari pemerintah daerah tentang kondisi kota Curup yang sebenarnya, juga menyesal sudah mematuhi larangan anak-anak tak berjualan jamu.

Sejak Pandemi, Bude hanya berjualan rempeyek kacang, namun itu jika ada pesanan. Bude mengajukan buku tabungan qurban sambil menyerahkan uang limaratus ribu. Total angka yang Beliau tulis, satu setengah juta rupiah.

"Kurang tujuh ratus! Bilang Abang dulu, jangan memaksa, kan?"

Perempuan itu menatapku. Kemudian beralih pandangan pada jemarinya. Cincin kawin yang menghuni jari manis itu, selalu menjadi sandaran. Dan sudah tahu jawabanku. Pilihannya adalah menunda untuk tahun depan.

Ilustrasi jangkauan kebaikan (sumber gambat : pixabay.com)
Ilustrasi jangkauan kebaikan (sumber gambat : pixabay.com)
Begitulah! Aku menyakini, masih banyak Ajo-ajo juga Bude-bude dengan kondisi dan situasi berbeda tersebar di negeri ini.

Di tengah perbincangan elit, tentang prioritas antara ekonomi dan kesehatan yang kusut masai. Masih ada orang-orang yang ingin berbagi sesuai kemampuan yang dimiliki. Masih ada orang-orang yang menyemai impian untuk melakukan kebaikan dengan segala keterbatasan.

"Bang! Kalau umur ..."

"Tuhan sudah tahu, Bude!"

Curup, 27.07.2020

Zaldychan

[Ditulis untuk Kompasiana]

Catatan :

Maafkanlah. Foto dua sosok ini, tak bisa aku tayangkan. Dialog dalam artikel ini pun sudah melalui penyesuaian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun