Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Maukah Kau Berjanji Menyimpan Rahasia?

5 Juli 2020   15:40 Diperbarui: 5 Juli 2020   16:02 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

Aku belum tahu!

Mungkin tak ada orang sepertiku. Saat ini, belum sampai sepuluh persen kujalani masa hukuman di penjara. Usai tiga orang jaksa menggunakan pasal yang persis sama. Pembunuhan berencana, dengan tuntutan maksimal. Hukuman mati.

Nyaris satu tahun aku menjalani persidangan. Tiga majelis hakim, tiga perkara berbeda, tapi menjatuhkan tiga keputusan yang sama. Penjara seumur hidup. Bukan seperti tuntutan jaksa. Hukuman mati.

Kenapa bukan hukuman mati?

Jangan pernah kau tanyakan alasan hakim padaku. Aku tak pernah tahu. Saat itu, usiaku baru menginjak tiga puluh tahun. Sebelumnya, aku hanya seorang lelaki yang bekerja sebagai buruh pabrik, sebagai suami dari seorang istri, dan sebagai ayah bagi kedua anakku yang masih balita.

Bisa jadi, keputusan itu adalah cara hakim memberikan kesempatan kepadaku, untuk menyesali semua perbuatanku. Sehingga aku bisa kembali menjadi manusia yang bersih bila suatu saat nanti dipanggil menghadap tuhan.

Atau, mungkin saja hakim berfikir, jika penjara bukan saja tempat hukuman, tapi tempat yang pantas bagiku untuk belajar. Bila usiaku panjang dan bebas dari penjara, aku bisa menjadi pribadi yang baik, serta tak akan mengulangi perbuatan yang sama.

Kemungkinan lain, hakim menganggap aku dan kasusku, bisa dijadikan bahan pelajaran bagi banyak orang. Agar tak melakukan kesalahan sepertiku.

Jika kau mau, coba saja bongkar beberapa arsip berita koran-koran nasional, kau akan lihat fotoku di halaman depan. Nyaris setiap minggu, kala itu.

Setidaknya, kau bisa cari di perpustakaan fakultas hukum beberapa universitas ternama di negeri ini. Aku tak sempat menghitung jumlah mahasiswa hukum yang melakukan wawancara untuk kepentingan skripsi, atau tenaga pengajar dan beberapa orang dari berbagai lembaga bantuan hukum dengan alasan sedang melakukan penelitian.

Sesudah dari sini. Coba kau tanyakan itu pada sipir atau kepala penjara. Karena mereka yang mengatur semua. Tugasku, hanya berpakaian rapi dan mengingat serta menceritakan kasusku dengan alur yang sama.

Itu hal mudah, kan?

Terkadang, aku menantikan wawancara seperti ini. Karena aku pasti mencicipi segelas kopi bukan sasetan atau sebotol air mineral dingin. Biasanya, akupun akan mendapatkan baju baru selain beberapa bungkus rokok. Kuanggap, itu sebagai pengganti rasa terima kasih.

 

Kau pasti bingung, kan?

Akupun tak tahu, kenapa berita tentangku begitu luar biasa. Kasusku mengalahkan berita seorang hakim yang tertangkap basah komisi anti korupsi akibat kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah.

Bilang pengacaraku. Aih, kau pasti tahu. Pembela itu disediakan dan dibiayai oleh negara. Tak hanya di koran, gambarku juga hadir dalam tayangan pemberitaan di berbagai stasiun televisi nasional. Ada yang sekedar berita, namun ada juga yang berdiskusi serius tentang kasusku.

Bahkan, pengacaraku pernah menunjukkan padaku melalui ponsel genggamnya, foto seseorang yang lagi memegang mikropon. Aku diberi tahu, jika orang yang ada di foto itu, adalah pimpinan biro hukum tempat dia bekerja.

Pimpinannya itu diundang berbicara pada acara yang selalu ditonton banyak orang. Kau pernah lihat tayangan salah satu televisi swasta yang diadakan setiap selasa malam, kan?

Mungkin aku pernah diceritakan hal-hal yang disampaikan pimpinan biro hukum itu. Namun, karena sudah agak lama, aku tak ingat persisnya. Aku hanya mengingat, biro hukum mereka akan berusaha maksimal, agar aku tak menemui kematian di ujung peluru, karena dijatuhi hukuman mati.

Kau tahu? Aku harus berterima kasih, kepada pengacaraku, kan? Hingga akhirnya aku tak menemukan jalan kematian dini. Apalagi dengan terjangan butiran peluru yang seumur hidup, bentuknya pun aku tak tahu.

Lewat tengah malam di kantor polisi. Saat aku baru saja menyerahkan diri serta menunggu diinterogasi, ada berita di televisi. Beberapa orang teroris ditembak mati.

Dua tahun kemudian, beberapa orang yang terjerat kasus narkoba, juga dieksekusi mati. Dua hari pula, aku ketakutan dan menyendiri di balik jeruji besi.

Ketakutanku sedikit berkurang, ketika seorang sipir penjara bercerita. Ditembak mati itu lebih baik dan lebih manusiawi. Karena anggota tim itu bukan orang sembarangan, dan terlatih menembak beberapa titik yang menjadi pusat kehidupan seseorang.

Tapi aku gemetar, saat sipir itu bercerita, jika di luar negeri ada hukuman pancung di leher. Aku segera mengingat ajaran ayahku, jika memotong leher ayam jangan sampai putus. Kalau dipancung, artinya putus, kan?

Nafasku sesak saat diceritakan, jika dulu terpidana mati dikurung dalam sebuah kamar yang berisi gas beracun. Ada juga yang disuntik mati. Namun, aku tak mengerti persisnya. Mungkin, nanti kau cari saja di buku, bagaimana caranya disuntik hingga mati.

Kecemasanku terkadang berlebihan. Beberapa kali aku ragu menghidupkan lampu di ruang makan, ketika diminta sipir penjara. Aku mengingat cerita tentang satu bentuk hukuman, ketika seseorang diikat erat pada sebuah kursi yang dialiri listrik tegangan tinggi hingga mati

Rekan satu selku, hingga pagi tadi masih sering tertawa, jika kuminta menemaniku menjemur pakaian. Karena aku kerap mengingat, ada hukuman mati dengan menggunakan tali di tiang gantungan. Aku kira, mungkin mirip seperti tetanggaku, yang tergantung di dekat sumur. Bilang polisi, karena bunuh diri.

Kaupun harus tahu. Beberapa kali aku ingin bunuh diri. Mengingat hidupku saat ini, sama saja seperti orang yang dihukum mati. Bedanya, aku masih harus makan, mandi, tidur, mengikuti kegiatan yang ada di penjara. Hanya itu. setiap hari begitu.

Jangan pernah kau tanyakan, apa tujuan hidupku sesudah menjalankan semua ini. Aku tak tahu! Aku tak lagi memiiliki tanggung jawab terhadap istri dan kedua anakku. Ketiganya, aku yakin, telah menjalani kehidupan yang lebih baik di dekat tuhannya.

Apa penyebabnya hingga aku begini?

Aku mengerti, kau pasti ingin tahu, kan? Tapi itu pun tak perlu kau tanyakan. Sesungguhnya, aku malu mengulang kisah ini. Aku dengar-dengar dari beberapa penghuni baru yang berkenalan denganku. Sudah banyak kisahku yang dijadikan skripsi, buku, novel, bahkan film.

Khusus untukmu, akan aku ceritakan secara lengkap. Dan pasti berbeda dari cerita-cerita yang tersebar selama ini. Kau jangan percaya dengan banyak berita serta cerita itu.

Kau bisa dipercaya, kan? Sebelum kuungkapkan cerita sebenarnya, maukah kau berjanji menjaga rahasia?

Tak perlu terburu-buru. Pikirkan dulu jawabanmu. 

Kutunggu!


Curup, 05.07.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun