Aku belum tahu!
Mungkin tak ada orang sepertiku. Saat ini, belum sampai sepuluh persen kujalani masa hukuman di penjara. Usai tiga orang jaksa menggunakan pasal yang persis sama. Pembunuhan berencana, dengan tuntutan maksimal. Hukuman mati.
Nyaris satu tahun aku menjalani persidangan. Tiga majelis hakim, tiga perkara berbeda, tapi menjatuhkan tiga keputusan yang sama. Penjara seumur hidup. Bukan seperti tuntutan jaksa. Hukuman mati.
Kenapa bukan hukuman mati?
Jangan pernah kau tanyakan alasan hakim padaku. Aku tak pernah tahu. Saat itu, usiaku baru menginjak tiga puluh tahun. Sebelumnya, aku hanya seorang lelaki yang bekerja sebagai buruh pabrik, sebagai suami dari seorang istri, dan sebagai ayah bagi kedua anakku yang masih balita.
Bisa jadi, keputusan itu adalah cara hakim memberikan kesempatan kepadaku, untuk menyesali semua perbuatanku. Sehingga aku bisa kembali menjadi manusia yang bersih bila suatu saat nanti dipanggil menghadap tuhan.
Atau, mungkin saja hakim berfikir, jika penjara bukan saja tempat hukuman, tapi tempat yang pantas bagiku untuk belajar. Bila usiaku panjang dan bebas dari penjara, aku bisa menjadi pribadi yang baik, serta tak akan mengulangi perbuatan yang sama.
Kemungkinan lain, hakim menganggap aku dan kasusku, bisa dijadikan bahan pelajaran bagi banyak orang. Agar tak melakukan kesalahan sepertiku.
Jika kau mau, coba saja bongkar beberapa arsip berita koran-koran nasional, kau akan lihat fotoku di halaman depan. Nyaris setiap minggu, kala itu.
Setidaknya, kau bisa cari di perpustakaan fakultas hukum beberapa universitas ternama di negeri ini. Aku tak sempat menghitung jumlah mahasiswa hukum yang melakukan wawancara untuk kepentingan skripsi, atau tenaga pengajar dan beberapa orang dari berbagai lembaga bantuan hukum dengan alasan sedang melakukan penelitian.
Sesudah dari sini. Coba kau tanyakan itu pada sipir atau kepala penjara. Karena mereka yang mengatur semua. Tugasku, hanya berpakaian rapi dan mengingat serta menceritakan kasusku dengan alur yang sama.