Itu hal mudah, kan?
Terkadang, aku menantikan wawancara seperti ini. Karena aku pasti mencicipi segelas kopi bukan sasetan atau sebotol air mineral dingin. Biasanya, akupun akan mendapatkan baju baru selain beberapa bungkus rokok. Kuanggap, itu sebagai pengganti rasa terima kasih.
Â
Kau pasti bingung, kan?
Akupun tak tahu, kenapa berita tentangku begitu luar biasa. Kasusku mengalahkan berita seorang hakim yang tertangkap basah komisi anti korupsi akibat kasus suap sengketa pemilihan kepala daerah.
Bilang pengacaraku. Aih, kau pasti tahu. Pembela itu disediakan dan dibiayai oleh negara. Tak hanya di koran, gambarku juga hadir dalam tayangan pemberitaan di berbagai stasiun televisi nasional. Ada yang sekedar berita, namun ada juga yang berdiskusi serius tentang kasusku.
Bahkan, pengacaraku pernah menunjukkan padaku melalui ponsel genggamnya, foto seseorang yang lagi memegang mikropon. Aku diberi tahu, jika orang yang ada di foto itu, adalah pimpinan biro hukum tempat dia bekerja.
Pimpinannya itu diundang berbicara pada acara yang selalu ditonton banyak orang. Kau pernah lihat tayangan salah satu televisi swasta yang diadakan setiap selasa malam, kan?
Mungkin aku pernah diceritakan hal-hal yang disampaikan pimpinan biro hukum itu. Namun, karena sudah agak lama, aku tak ingat persisnya. Aku hanya mengingat, biro hukum mereka akan berusaha maksimal, agar aku tak menemui kematian di ujung peluru, karena dijatuhi hukuman mati.
Kau tahu? Aku harus berterima kasih, kepada pengacaraku, kan? Hingga akhirnya aku tak menemukan jalan kematian dini. Apalagi dengan terjangan butiran peluru yang seumur hidup, bentuknya pun aku tak tahu.
Lewat tengah malam di kantor polisi. Saat aku baru saja menyerahkan diri serta menunggu diinterogasi, ada berita di televisi. Beberapa orang teroris ditembak mati.