"Adek merajuk sama Ayah!"
"Hah?"
Ucapan si Sulung membuatku kaget. Isi kepalaku melesat jauh ke belakang, mencari tahu kesalahan apa yang mungkin aku lakukan dalam tiga hari terakhir. Karena aku selalu pulang ke rumah nyaris azan maghrib, dan sesudah isya pergi lagi. Pulang larut malam.
Namun, semua anakku tahu. Jika bulan seperti ini, durasi waktuku di luar rumah lebih banyak. Karena belum kutemukan salahku, maka aku tanyakan alasan dan sebab lelaki kecilku merajuk pada si Sulung.
"Adek mau cerita, Ayah malah langsung ke Kamar mandi!"
Deg! Aku menjemput ingatan saat tiba di rumah tadi. Usai parkir motor, lelaki kecil itu menyambutkku, dengan kepala yang dicukur nyaris botak. Karena maghrib, aku tak begitu perhatian dengan ucapannya. Hanya kupeluk dan sekilas kuusap kepalanya yang botak.
![Ilustrasi Anak lelaki yang terabaikan (sumber gambar : pixabay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/02/boy-477010-640-5efdec1bd541df07ce561962.jpg?t=o&v=770)
Awal kisahnya, saat isu pandemi covid-19 merebak, serta tempat biasa pangkas rambut tutup. Aku membeli alat cukur listrik. Karena waktu kuliah dulu, aku sempat "mempreteli" rambut teman-temanku.
Jadi, rambut anakku pun dijadikan lahan eksperimen. Nah, dalam 4 bulan masa pandemi ini, daftar antrian pelangganku bertambah, dengan beberapa keponakan. Dan, aku hanya melayani satu model pangkas rambut. Botak!
Untukku? Cukuplah buat merapikan kumis dan jenggot! Gondrongnya tak biarkan dulu.
Nah. Pagi tadi, mungkin tahu ayahnya pura-pura sibuk, lelaki kecilku ingin dipangkas sama Abangnya. Maka, sebelum berangkat, aku arahkan si Sulung. Tutorial ringkas cara menggunakan alat cukur listrik tersebut. Dan itu dilakukan si Sulung siang hari.
Mungkin, saat aku baru tiba di rumah tadi, lelaki kecilku, mau berkisah pengalaman bagaimana rasanya dipangkas Abangya. Namun, aku tak "ngeh"! Jadi, sebagai Ayah, aku mesti cari strategi buat menetralisir rajukan si kecil, kan?
"Dek! Tolong Ayah, mau?"
Percayalah! Walaupun marah, anakku akan kalah dengan kata tolong, apalagi teriakan itu dari mulutku. Dari lantai atas, segera hadir lelaki kecilku, dengan wajah kusut yang anteng terpasang, namun matanya enggan menatapku.
"Beli rokok?"
"Bukan! Tolong beli kuaci, Nak!"
Nyaris berhasil sembunyikan senyuman, anakku berlari ke warung sebelah rumah. Gencatan senjata diberlakukan saat semua mulut sibuk memisahkan kulit dan isi kuaci, sambil menyimak kisah si kecil.
Aku beritahu, ya? Kuaci salah satu "senjata rahasiaku" buat si kecil. Tingkat keberhasilannya 100 persen! Hihi...
![Ilustrasi Anak Lelaki bercerita pada Ibunya (sumber gambar : https://teras.id)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/02/ketahui-manfaat-dan-waktu-yang-tepat-bercerita-kepada-anak-1-5efdedd8097f3617fe253c94.jpg?t=o&v=770)
Aku merasakan, ternyata belajar menjadi orangtua, tak cukup dengan teori-teori parenting. Terkadang, teori dan praktek seperti ujaran "jauh panggang dari api." Teorinya ke mana, prakteknya di mana! Hiks...
Aku coba lakukan penelusuran di mesin pencari. Ternyata banyak tips dan trik yang menulis tentang mendengarkan. Semisal, 10 Manfaat Mendengarkan Buah Hati Anda, Pentingnya Mendengarkan Pendapar Anak, Orangtua Perlu Mendengarkan Anak. Aih, pokoke banyak!
Pada beberapa artikel yang kubaca, manfaat ketika mendengarkan anak adalah : Orangtua jadi tahu kondisi dan perasaan anak pada hari itu. Menjalin kedekatan dan keterikatan secara emosional (bonding?). Anak tahu kita hadir utuh untuknya. Serta menciptakan rasa aman dan saling percaya.
Ada satu artikel yang menurutku sedikit berbeda, tulisan Umi Khomsiyatun, relawan pustaka di Rumah Kreatif Wadas Kelir (RKWK). Ternyata manfaat mendengarkan bukan hanya bagi orangtua. Namun juga bermanfaat bagi anak, jika orangtua mendengarkan ceritanya.
Menurut mahasiswa Pascasrjana Pendidikan Bahasa dan Sastra  Universitas Muhammadiyah Purwokerto itu, dalam artikel berjudul "Pentingnya Mendengarkan Cerita Anak" (baca di sini). Setidaknya ada 3 hal yang sedang anak kembangkan dalam dirinya saat bercerita.
Pertama. Melatih anak untuk terbuka. Ketika bercerita, tanpa disadari, anak juga sedang berlatih untuk terbuka mengungkapkan yang dirasakan atau dipikirkan kepada orang lain. Jika ini terus dilakukan, anak kemudian tak akan takut dan menyembuyikan yang dirasakan atau malah yang dialami!
Kedua. Melatih dan menambah percaya diri anak. Dituliskan, anak yang sering bercerita biasanya memiliki rasa percaya diri. Jadi, semakin sering bercerita, maka akan meningkatkan rasa percaya diri anak.
Ketiga. Melatih berbahasa yang baik. Nah ini, yang seringkali terlupakan. Aku juga sering melakukan itu. Sebagai orangtua, aku sering tak sabar mendengarkan anak bercerita. Apalagi bahasanya belepotan dan bolak balik!
Sehingga terpancing buat menyela atau memotong cerita! Ternyata itu salah! Karena, anak menjadi tak terlatih berbicara dan berbahasa yang baik. Terkadang, lebih memilih menghentikan ceritanya. Hiks...
![Ilustrasi kedekatan orangtua dan anak (sumber gambar : pixabay.com)](https://assets.kompasiana.com/items/album/2020/07/02/dad-and-son-1432772-640-5efdee1a097f36374a74a933.jpg?t=o&v=770)
Begitulah! Walaupun aku lumayan antusias membaca artikel parenting, juga mengikuti diskusi di WAG Parenting. Namun, dalam kasus anakku tadi, Aku kesulitan menjawab. Jika pertanyaannya, orangtua lebih dominan didengarkan atau mendengarkan?
Jika diminta memilih, ada kecenderungan keinginan orangtua lebih memilih mendengarkan, walau prakteknya, mayoritas orangtua sebagai sosok yang didengarkan! Iya, tah?
Udah, ya? Selalu sehat. Salam hangat!
Curup, 02.07.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI