Kedua. Rangkiang Si Bayau-bayau.
Bentuknya seperti rangkiang pertama, namun lebih besar dan ditopang 6 tiang penyangga. Sesuai ukurannya, simpanan hasil panen di sini peruntukannya adalah untuk makan sehari-hari.
Ketiga. Rangkiang Sitangguang Lapa.
Bentuknya nyaris seperti Rangkiang sitinjau lauik, dengan 4 tiang penyangga. Peruntukannya hasil panen yang tersimpan, berfungsi sebagai cadangan jika gagal panen atau paceklik. Terkadang sebagai tempat peminjaman anggota kaum, dan dibayar saat panen.
Keempat. Rangkiang Kaciak.
Sesuai namanya, rangkiang kaciak bangunan terkecil, mirip pondok bertiang 4, namun atapnya tidak bergonjong. Hasil panen dari simpanan dalam rangkiang ini, adalah untuk menyimpan benih serta biaya untuk musim tanam berikutnya.
Tapi, di masa kini rangkiang jarang ditemui lagi, kan? Benar. Namun filosofi rangkiang dalam tradisi Minang belum hilang, kan?
Jika saat ini, hasil panen ditamsilkan dengan pendapatan keuangan individu atau keluarga. Maka keberadaan rangkiang, mengajarkan tata kelola pendapatan serta manajemen krisis secara komunal dan penggunaan pendapatan. Agar tak terjadi tak besar pasak daripada tiang.
Terlalu filosofis dan sukar diterapkan dalam kehidupan sehari hari?
Aku ceritakan kebiasaan Ibuku, -kusapa Amak- Â perempuan Minang berusia 78 tahun, yang hingga artikel ini dibuat masih memegang teguh ajaran "saganggam bareh". Dan hal ini diajarkan kepada semua anak-anak beliau.