Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Dear Orangtua, Siapkah jika Anak Meminta Izin Terlibat Aksi Demo?

26 Juni 2020   22:14 Diperbarui: 27 Juni 2020   17:10 1221
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Kalau sudah besar. Kakak ikut demo juga, Yah!"

"Demo apa, Nak?"

"Belum tahu! Tapi boleh, kan?"

Percakapan di atas terjadi setelah lelaki kecilku, yang akan duduk di kelas 5 SD itu, menemaniku menonton berita di salah satu stasiun televisi swasta, yang menyajikan peristiwa demontrasi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP),

Entah apa yang dibayangkan anakku saat menyaksikan berita demo itu, sehingga keluarlah keinginan untuk ikut. Percakapan selesai, ketika kuberikan anggukan kepala. Kukira, kami berdua mengerti, peristiwa itu masih lama.

Ujung-ujungnya, akibat percakapan itu, aku malah kepikiran yang kuramu dalam dua pertanyaan. Pertama. Apakah salah, selaku orangtua, aku "membiarkan" anak ikut menyaksikan berita itu? Kedua. Apa yang mungkin kulakukan, jika bayangan anakku, suatu saat, itu benar-benar terjadi?

Ilustrasi Orangtua dan Anak menonton televisi (sumber gambar : https://sains.kompas.com)
Ilustrasi Orangtua dan Anak menonton televisi (sumber gambar : https://sains.kompas.com)
Orangtua, Anak dan Asupan Berita

Dulu aku pernah menuliskan, jika anak butuh "perlindungan" dari asupan berita-berita kejahatan. Apatah media cetak atau elektronik, yang terkadang menggunakan gambar vulgar dan bahasa yang frontal.

Aku ambil contoh, ketika anakku lagi menonton film Upin dan Ipin. Tetiba ada jeda straight news memberitakan seorang anak remaja yang bunuh diri loncat dari lantai 13, karena cekcok dengan orangtua. Walau gambarnya dikaburkan, namun masih terlihat jenazah yang tergeletak di lantai.

Atau, anggaplah tak berbentuk tayangan gambar, tapi satu berita berjalan (running text), yang memberitakan peristiwa kekerasan fisik semisal kekerasan seksual yang dilakukan orangtua terhadap anak kandungnya.  

Dalam dua contoh kasus di atas, salah orangtua?

Di masa kini, orangtua tak bisa lagi leluasa memproteksi anak tentang asupan berita atau tayangan yang layak atau pantas untuk anak-anak. Bak udara yang bergerak, berita akan menyusup ke semua lini, tah?

Setelah Badan Sensor Film (BSF) terpinggirkan, ada kebijakan dari Komisi Penyiaran Indonesia. Khusus untuk tayangan televisi, setidaknya ada beberapa kategori yang mesti dilakukan oleh lembaga penyiaran.

Biasanya, di sudut kanan atas layar televisi, ada singkatan yang menyatakan kategori mata acara yang sedang ditayangkan. Semisal SU untuk Semua Umur, ada juga BO akronim dari Bimbingan Orangtua, atau +13 artinya buat usia 13 tahun ke atas, serta D untuk tayangan Dewasa.

Sependektahuku, "guntingan sensor" bermakna pengawasan tak bisa dilakukan sepenuhnya. Apatah lagi jika tayangan yang  disiarkan langsung. Acapkali terjadi "kecelakaan" tayangan, yang mungkin tak seharusnya menjadi konsumsi anak-anak. Akhirnya, kebijakan itu cenderung sebagai seremonial dan formalitas.

Ilustrasi Orangtua, Anak dan demontrasi di Mataram NTB, Senin, 16/12/2019 (sumber gambar : https://regional.kompas.com)
Ilustrasi Orangtua, Anak dan demontrasi di Mataram NTB, Senin, 16/12/2019 (sumber gambar : https://regional.kompas.com)
Orangtua, Anak dan Demontrasi.

Bahasan ini, tak bermaksud membahas tentang konten atau konteks dari aksi demo. Namun bagaimana reaksi orangtua, saat anaknya terlibat atau terjebak dalam sebuah aksi demontrasi. Reaksi paling umum yang terungkap adalah rasa cemas dan panik.

"Rasa cemas dan panik itu timbul ketika komunikasi buruk, sehingga ada tanda tanya dari suatu aktivitas yang dilakukan anggota keluarga."

Kalimat di atas, kukutip dari tempo.co (28/09/2019), adalah komentar Najeela Shihab. Ketika diminta tanggapannya tentang rasa cemas orangtua, saat anaknya terlibat demontrasi pelajar STM di Gedung DPR/MPR tanggal 25 September 2019 (di sini).

Rasa cemas itu, tak hanya karena demontrasi yang diwarnai aksi anarkis dan cenderung liar. Semakin bertambah, ketika orangtua menerima panggilan polisi untuk menjemput anaknya.

Menurut Najeela, jika ada "keterbukaan komunikasi" antara anak dan orangtua, maka orangtua bisa "mendapatkan ruang" untuk memberikan pertimbangan hal positif atau negatif terhadap aktivitas anak.  

Pertanyaannya, jika disediakan ruang komunikasi itu, kemudian anak meminta izin untuk mengikuti demo, Bagaimana tanggapan orangtua?

Pada situs Mommies Daily, Fia Indriokusumo menuliskan jawaban 4 orang psikolog berpijak dari pertanyaan di atas. (Sila baca di sini)

Hal menarik dari tanggapan psikolog yang bisa saja menjadi rujukan para orangtua, jika anaknya meminta izin, keempatnya akan mengizinkan anaknya untuk ikut aksi demo. Namun, khas orangtua, izinnya pasti bersyarat!

Syarat itu berupa rentetan pertanyaan dan pesan. Demonya tentang apa? Tujuannya apa? Dengan siapa? Lokasinya di mana?  Aman tidak? Ditambah pesan, demo mesti santun dan jaga keselamatan diri.

Terus, mampukah anak menjawab deretan pertanyaan di atas untuk mendapatkan izin? Kukira, logika dan psikologi anak, memiliki batasan untuk menjawab beragam pertanyaan itu, tah?

Anggaplah anak diizinkan ikut aksi demo, Orangtua akan tetap merengkuh rasa cemas dan panik. Bagaimana jika ternyata anak terlibat atau terjebak dalam pusaran aksi anarkis atau aksi kriminal? Kemudian ternyata berhadapan dengan hukum?

Jika merujuk pada Undang-undang nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA). Anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), di rentang usia telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.

Terlepas dari alasan agar anak belajar menyampaikan pendapat, belajar menjadi bagian dari komunitas yang besar, menumbuhkan solidaritas dan belajar peduli isu-isu sosial. Maka anak berusia SMP hingga SMA, bisa masuk kategori Anak yang Berhadapan dengan hukum, kan?

Jika alurnya begini, apatah orangtua masih akan mengizinkan anaknya ikut demo dan menerima segala resikonya, atau lebih memilih melarang? Jika menggunakan alur berfikir anak, tak perlu minta izin. Toh, ketika meminta izin, pasti dilarang, tah?

Ilustrasi suasana demo Tolak RUU KUHP dan KPK. selasa. 24/9/2019 (sumber gambar : https://www.tribunnews.com)
Ilustrasi suasana demo Tolak RUU KUHP dan KPK. selasa. 24/9/2019 (sumber gambar : https://www.tribunnews.com)
Apa yang Bisa Dilakukan Orangtua?

Pernah melihat tindakan refresif dengan aksi razia satpol PP di warung atau rumah makan saat bulan Ramadan? Itu menjadi pilihan, ketimbang tindakan preventif dengan menumbuhkan kesadaran pemilik warung atau yang orang yang berpuasa, tah?  

Contohnya kejauhan, Bro! Bagaimana, semisal ada anak yang lagi asik menonton televisi, di saat yang sama, tiba waktu sholat. Mungkin ada toleransi orangtua, dengan satu atau dua kali teguran. Jika anak masih tak beranjak, apa yang dilakukan orangtua? Mematikan televisi!

Racikan menarik, dituliskan Harry Santosa dalam buku Fitrah Based Education (2017) tentang Steril dan Imun pada Anak. Adalah baik, jika anak diproteksi (sterilisasi) dari hal-hal negatif oleh orangtua. Namun, tak akan menciptakan kekebalan (imunisasi) ketika anak jauh dari orangtua.

Proses melahirkan imunitas anak, adalah dengan membangun bonding sejak dini sesuai fitrah anak, yang menjadi daya rekat antara anak dan orangtua. Salah satunya, membangun kepercayaan dan keyakinan pada kebenaran yang disepakati bersama antara orangtua dan anak.

Bisa jadi, Pekerjaan Rumah Orangtua adalah, membentuk kekebalan (Imunisasi) pada diri anak, dibandingkan sibuk menghadirkan larangan-larangan yang bertujuan untuk pencegahan (sterilisasi), malah membuat anak gagap ketika jauh dari orangtua.

Berat? Pasti! Jadi, aku titipkan jadi PR bersama saja, ya? Hiks...

Curup, 26.06.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun