"Kalau sudah besar. Kakak ikut demo juga, Yah!"
"Demo apa, Nak?"
"Belum tahu! Tapi boleh, kan?"
Percakapan di atas terjadi setelah lelaki kecilku, yang akan duduk di kelas 5 SD itu, menemaniku menonton berita di salah satu stasiun televisi swasta, yang menyajikan peristiwa demontrasi menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP),
Entah apa yang dibayangkan anakku saat menyaksikan berita demo itu, sehingga keluarlah keinginan untuk ikut. Percakapan selesai, ketika kuberikan anggukan kepala. Kukira, kami berdua mengerti, peristiwa itu masih lama.
Ujung-ujungnya, akibat percakapan itu, aku malah kepikiran yang kuramu dalam dua pertanyaan. Pertama. Apakah salah, selaku orangtua, aku "membiarkan" anak ikut menyaksikan berita itu? Kedua. Apa yang mungkin kulakukan, jika bayangan anakku, suatu saat, itu benar-benar terjadi?
Dulu aku pernah menuliskan, jika anak butuh "perlindungan" dari asupan berita-berita kejahatan. Apatah media cetak atau elektronik, yang terkadang menggunakan gambar vulgar dan bahasa yang frontal.
Aku ambil contoh, ketika anakku lagi menonton film Upin dan Ipin. Tetiba ada jeda straight news memberitakan seorang anak remaja yang bunuh diri loncat dari lantai 13, karena cekcok dengan orangtua. Walau gambarnya dikaburkan, namun masih terlihat jenazah yang tergeletak di lantai.
Atau, anggaplah tak berbentuk tayangan gambar, tapi satu berita berjalan (running text), yang memberitakan peristiwa kekerasan fisik semisal kekerasan seksual yang dilakukan orangtua terhadap anak kandungnya. Â