Dalam dua contoh kasus di atas, salah orangtua?
Di masa kini, orangtua tak bisa lagi leluasa memproteksi anak tentang asupan berita atau tayangan yang layak atau pantas untuk anak-anak. Bak udara yang bergerak, berita akan menyusup ke semua lini, tah?
Setelah Badan Sensor Film (BSF) terpinggirkan, ada kebijakan dari Komisi Penyiaran Indonesia. Khusus untuk tayangan televisi, setidaknya ada beberapa kategori yang mesti dilakukan oleh lembaga penyiaran.
Biasanya, di sudut kanan atas layar televisi, ada singkatan yang menyatakan kategori mata acara yang sedang ditayangkan. Semisal SU untuk Semua Umur, ada juga BO akronim dari Bimbingan Orangtua, atau +13 artinya buat usia 13 tahun ke atas, serta DÂ untuk tayangan Dewasa.
Sependektahuku, "guntingan sensor" bermakna pengawasan tak bisa dilakukan sepenuhnya. Apatah lagi jika tayangan yang  disiarkan langsung. Acapkali terjadi "kecelakaan" tayangan, yang mungkin tak seharusnya menjadi konsumsi anak-anak. Akhirnya, kebijakan itu cenderung sebagai seremonial dan formalitas.
Bahasan ini, tak bermaksud membahas tentang konten atau konteks dari aksi demo. Namun bagaimana reaksi orangtua, saat anaknya terlibat atau terjebak dalam sebuah aksi demontrasi. Reaksi paling umum yang terungkap adalah rasa cemas dan panik.
"Rasa cemas dan panik itu timbul ketika komunikasi buruk, sehingga ada tanda tanya dari suatu aktivitas yang dilakukan anggota keluarga."
Kalimat di atas, kukutip dari tempo.co (28/09/2019), adalah komentar Najeela Shihab. Ketika diminta tanggapannya tentang rasa cemas orangtua, saat anaknya terlibat demontrasi pelajar STM di Gedung DPR/MPR tanggal 25 September 2019 (di sini).
Rasa cemas itu, tak hanya karena demontrasi yang diwarnai aksi anarkis dan cenderung liar. Semakin bertambah, ketika orangtua menerima panggilan polisi untuk menjemput anaknya.
Menurut Najeela, jika ada "keterbukaan komunikasi" antara anak dan orangtua, maka orangtua bisa "mendapatkan ruang" untuk memberikan pertimbangan hal positif atau negatif terhadap aktivitas anak. Â