Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kisah Hujan Bulan Juni

21 Juni 2020   18:14 Diperbarui: 21 Juni 2020   21:08 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrasi lelaki tua (sumber gambar : pixabay.com)

"Besok, hujan lagi?"

"Iya, Yah!"

Lamat-lamat, kudengar bunyi langkah menjauh dari ruang tengah. Seperti biasa, ayah membenci tapi butuh berita prakiraan cuaca. Tak lama, kumatikan televisi. Kakiku segera mengikuti langkah ayah ke beranda. Nyaris pukul setengah sepuluh, malam itu.

Deru angin mengajak air hujan menjejaki hampir separuh lantai beranda. Bersisa sudut sempit di dekat jendela. Terdapat bangku panjang tua berbahan bambu kuning, tempat ayah menikmati kepulan asap kreteknya. Ayah berdiri, saat melihatku.

"Sudah tiga hari hujan!"

"Kan, bulan juni, Yah?"

"Perutku, perut ibumu, perutmu dan dua adikmu, tak peduli urusan bulan!"

Aku terdiam. Tapi mataku refleks bergerak mengikuti puntung kretek yang dilontarkan jemari tangan kiri ayah ke halaman. Sesaat kulihat puntung itu terayun bersama genangan air hujan, sebelum lenyap ke selokan.

Ayah menepuk bahuku pelan. Sebelum bergerak kembali ke dalam rumah.

***

"Matikan!"

Aku terkejut. Badanku segera menghadap sumber suara. Ayah berdiri di pintu ruang tengah. Matanya menatapku. Satu gerakan pelan dagu ayah, memaksaku beranjak menekan tombol off di sudut kanan bawah televisi hitam putih.

"Malam ini, tak usah dengar berita!"

"Tapi..."

"Kau tahu seharian tadi cerah, kan? Padahal malam tadi, diberitakan hujan!"

"Namanya prakiraan, Yah! Jadi..."

"Tak perlu sampaikan, kalau sekedar prakiraan! Pedagang es sepertiku butuh kepastian!"

Sejak siang tadi, bilang ibu, amarah ayah tersimpan di kamar tidur. Mengurung diri adalah cara ayah. Jika sudah begitu, ibu akan membujuk adik-adikku akan menjauh dari pintu kamar.

Sebagai anak lelaki tertua, aku adalah sasaran utama. Tak peduli, jika aku baru pulang dari pabrik es, kegiatanku sepulang sekolah. Ayah bergerak mendekat ke arahku. Tangan kanannya terangkat, perlahan mengusap kepalaku.

"Kau sudah makan?"

"Belum, Yah! Kan, baru pulang?"

"Makanlah!'

"Iya, Yah!"

"Besok Ayah harus jualan!"

Amarah ayah tak bisa ditebak. Seperti hujan. Terkadang ditunggu tak kunjung tiba. Namun, di tengah terik matahari pukul satu, bisa saja datang tiba-tiba. Atau saat butirannya mengucur deras mendera, bisa segera reda.

 ***

"Jangan bersuara! Ibu ambilkan nasi, kau makan di beranda saja!"

Ibu menyongsong langkahku yang meloncati genangan air di halaman. Kedua tangan yang mulai berkeriput itu, menarik pelan tangan kananku menuju bangku panjang tua di dekat jendela. Dua tangan tangan ibu menekan bahuku, meminta duduk.

"Diamlah. Tunggu ibu di sini."

Ibu bergegas melangkah ke dalam rumah. Gerimis masih berjatuhan mengisi sunyi malam. Ibu kembali hadir dari balik pintu. Kedua tangannya penuh terisi. Segelas air dan sepiring nasi.

"Makanlah, Nak!"

Piring dan gelas berpindah tangan. Ibu bergegas meninggalkanku di beranda, dan kembali dengan satu gelas besar di tangan. Tak ada kepulan asap terlihat. Aku tahu, air teh itu bukan untukku.

"Untukmu saja!"

"Ayah..."

"Barusan pergi. Gerobak dihancurkan, gelas-gelas dipecahkan. Di dalam rumah masih berantakan. Ayahmu pergi dengan amarah!"

***

"Ya Allah! Mamas..."

"Tolong ambilkan handuk!"

Setengah berlari, istriku menghilang dari pintu rumah. Dan tergesa muncul kembali, berusaha secepatnya mengusapkan handuk ke wajahku. Kurebut handuk dari tangannya, sambil menyerahkan kantong plastik hitam yang ada di tanganku.

"Ngopi atau teh, Mas?"

"Itu saja!"

Sambil tersenyum, telunjuk tangan kanan, kuajukan ke arah kantong plastik hitam yang telah berpindah tangan. Sekilas kuusap kepalanya. Langkahku mendahului menuju kamar mandi.

Istriku tertawa saat aku duduk di hadapnya di meja makan. Kedua tangannya sibuk menyalin lima bungkus es campur, ke dalam satu mangkok besar. Sambil gelengkan kepala, perempuan cantik itu menatapku.

"Kan, hujan, Mas?"

"Udah tahu! Tapi Mang Amin, gak tahu kalau hari akan hujan, kan?"

Istriku pasti mengerti ucapan itu. Mang Amin, nyaris seumuran Ayah. gerobaknya sejak pukul sebelas hingga sore, selalu mangkal di depan kantorku. Selalu ada alasanku, ketika nyaris setiap hari membawa pulang dagangan Mang Amin. Apalagi jika hari hujan.  

"Ibu?"

"Beliau di kamar. Tadi mau shalat ashar."

Aku segera bangkit, melangkah pelan menuju kamar ibu. Mataku menatap tubuh tua yang masih duduk bersimpuh di atas sejadah. Perlahan wajah ibu berpaling menatapku yang berdiri kaku di pintu. Mata tua itu, tak hanya menyimpan belasan tahun luka. Juga airmata.

"Kau masih mencari Ayah?"

Curup, 21.06.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun