"Iya, Yah!"
"Besok Ayah harus jualan!"
Amarah ayah tak bisa ditebak. Seperti hujan. Terkadang ditunggu tak kunjung tiba. Namun, di tengah terik matahari pukul satu, bisa saja datang tiba-tiba. Atau saat butirannya mengucur deras mendera, bisa segera reda.
 ***
"Jangan bersuara! Ibu ambilkan nasi, kau makan di beranda saja!"
Ibu menyongsong langkahku yang meloncati genangan air di halaman. Kedua tangan yang mulai berkeriput itu, menarik pelan tangan kananku menuju bangku panjang tua di dekat jendela. Dua tangan tangan ibu menekan bahuku, meminta duduk.
"Diamlah. Tunggu ibu di sini."
Ibu bergegas melangkah ke dalam rumah. Gerimis masih berjatuhan mengisi sunyi malam. Ibu kembali hadir dari balik pintu. Kedua tangannya penuh terisi. Segelas air dan sepiring nasi.
"Makanlah, Nak!"
Piring dan gelas berpindah tangan. Ibu bergegas meninggalkanku di beranda, dan kembali dengan satu gelas besar di tangan. Tak ada kepulan asap terlihat. Aku tahu, air teh itu bukan untukku.
"Untukmu saja!"