10 pertanyaan dalam wawancara imajiner di atas, tak lagi menggali ide menulis, sebagaimana teori "What If". Malah mengarah pada menyigi makna dan tujun merantau. Haha...
Salah satu pergeseran makna merantau itu, adalah tekanan ekonomi atas nama cinta. Ketika merantau berpijak pada situasi dan kondisi di tanah rantau lebih baik dan lebih cepat untuk mewujudkan cinta itu, daripada menunggu di kampung sendiri.
W. Arthur Lewis dalam Economic Development With Unlimited Supply of Labour, menyebutkan motivasi merantau tersebut sebagai "Uniquel Development Impact" atau dampak dari ketidakmerataan pembangunan. Semisal ranah pendidikan atau ekonomi.
Berbeda dengan Teori Volutantaristic Action (De Jong and Gadner), bahwa terdapat beragam argumentasi proses pengambilan keputusan dalam merantau (migrasi secara individu). Bisa saja karena dorongan dari paradigma demografi, geografi, ekonomi, atau psikologi sosial.
Kampung yang terlalu padat penduduk, lahan yang gersang dan tandus, peluang kerja yang lebih terbuka di tanah rantau, atau karena alasan jodoh? Mungkin saja menciptakan dialektika baru dari makna merantau, tah?
Suku Minang, Batak, Madura atau Bugis adalah beberapa suku bangsa yang dikenal dengan tradisi merantau. Namun, kukira tak bisa mengklaim sebagai pemilik sejati peradaban merantau. Sosio budaya dan sosio historis, bisa saja menjadi alasan suku bangsa lain untuk merantau.
Akhirnya...
Pada awalnya, merantau adalah mencari "perubahan", kemudian setelah "mengalami perubahan", kembali pulang ke kampung halaman untuk melakukan "perubahan bersama". Namun, saat ini, motivasi itu tak lagi populer.
Kukira, mayoritas yang merantau, dengan berbagai motivasi, lebih memilih tanah rantau sebagai kampung halaman kedua. Pulang dari rantau pun, hanya bermakna "singgah". Terkadang, sumbangsih berupa materi menjadi "pengganti diri". Sebagai penanda, bahwa para perantau masih memiliki kampung.