Nah, secara bebas dan sambil berhayal, kugunakan rumus itu, gegara mendengarkan lagu Pulanglah Uda. Hingga, kucoba lontarkan 10 pertanyaan dalam wawancara imajiner dengan penciptanya. Aku tulis, ya?
Pertanyaan Pertama. Bagaimana awalnya lagu itu tercipta?
Senja itu, aku sedang duduk di bebatuan Bukit Lampu. 1 kilometer dari di Pelabuhan Teluk Bayur. Kulihat seorang gadis duduk menghadap laut. Matanya tak lepas memandang lampu-lampu perahu nelayan yang mulai menjauh dari pantai.
Pertanyaan Kedua. Terus, langsung nulis lagu?
Belum! Aku membayangkan. Gadis itu bukan menikmati cahaya jingga dengan lampu-lampu perahu atau debur ombak yang diterpa angin senja. Aku curiga, jejangan gadis itu sedang menunggu seseorang yang dicintai.
Pertanyaan Ketiga. Kenapa Anda berpikir gadis itu menunggu?
Kupastkan, karena rindu! Jika seseorang yang baru putus cinta, dia tak akan punya waktu untuk menunggu atau menikmati senja. Karena senja adalah pintu keluar-masuk kenangan, yang membuatnya kembali terluka.
Pertanyaan Keempat. Menunggu siapa? Kekasih atau suami?
Keduanya! Eh, maksudnya, bisa salah satu dari keduanya. Jika bukan karena cinta atau rindu, kuragukan seorang gadis mampu menikmati kesendirian di saat senja. Rindu dan senja yang memaksa gadis itu melakukan yang tak bisa dimamah logika.
Pertanyaan Kelima. Karena itu, Anda meyakini jika gadis itu rindu?
Iya. Pantai adalah simbol perpisahan antara daratan dan lautan. Sama halnya seperti terminal atau stasiun kereta api. Kau tahu? Orang Minang memiliki tradisi merantau, kan? Maka, kubayangkan, gadis itu sedang rindu dan menanti kekasih yang lagi merantau, namun telah lama tak pulang.