Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Pelanduk di antara "Jebakan" Tahu dan Tidak Tahu

12 Juni 2020   23:24 Diperbarui: 13 Juni 2020   00:31 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi lelaki dan peta konsep. (sumber gambar : pixabay.com)

"Terkadang, ketidaktahuan itu menyelamatkan!"

Aku mengingat kalimat ini, usai membaca artikel Kisah-Kisah Abu Nawas yang Masih Relevan hingga Sekarang, tayang di Kompasiana (12/06/2020) yang ditulis oleh Mas Usman Didi Khamdani.

Tak bermaksud mengulas artikel itu, aku jadi mengingat pada sosok Abu Nawas. Dari banyak kisah, sosk jenaka ini, acapkali lolos dari lobang jarum pada urusan "tahu dan tidak tahu."

Ada kalanya. "Ketidaktahuan" itu dipilih sebagai zona aman untuk selamat. Baik untuk keselamatan diri sendiri atau menyelamatkan orang lain.

"Tidak Tahu" Acapkali menjadi Senjata

Jawaban "tidak tahu" seringkali dipilih dan  dijadikan sebagai senjata. Semisal, jawaban segerombolan anak kecil yang bermain bola, hingga mengakibatkan pecahnya kaca jendela tetangga.

"Siapa yang pecahkan kaca jendela?"

"Gak tahu!"

"Kan, kalian yang bermain? Siapa yang terakhir nendang bolanya?"

"Gak tahu!"

Jika melihat tayangan kriminal yang melibatkan polisi di televisi. Kalimat "tidak tahu" ini juga sering digunakan tersangka, saat dijejali pertanyaan dalam sebuah interogasi. Semakin dicecar dan diminta mengaku, semakin gencar menjawab "tidak tahu!"

Hal yang sama juga acapkali ditemui pada terdakwa di ruang sidang. Namun dengan varian berbeda, yang populer adalah, "lupa, Yang Mulia!"

Ada juga, memang benar-benar tidak tahu. Seperti kisah temanku. Jika pulang malam, memilih melalui jalan pintas biar cepat sampai ke rumah. Biasanya, melewati sebuah jembatan. Namun, usai mendengar cerita "keangkeran" di jembatan, terpaksa memilih jalan pulang berliku dengan alasan takut.

Tuh, kan? Ketidaktahuan menyelamatkan, dan ketahuan yang menyusahkan! Haha...

sumber gambar : pixabay.com
sumber gambar : pixabay.com
Menjadi Pelanduk di antara Jebakan Tahu dan Tidak Tahu.

Sesungguhnya, berurusan dengan tahu dan tidak tahu itu, tak pernah mudah. Contohnya, seseorang tahu tentang suatu hal, diminta mengaku tidak tahu. Atau sebaliknya, ada orang yang memang benar-benar tidak tahu, tapi dianggap bahkan dituduh tahu!

Akibatnya? Menjadi pelanduk di antara pertempuran para gajah. Diam salah, berlari lebih salah! Serba salah! Hiks...

Namun, ada juga yang memilih "bersembunyi". Poulo Coelho menggambarkan sosok yang bersembunyi ini, dalam catatan pendek buku Kitab Suci Kesatria Cahaya.

"Aneh! Aku bertemu begitu banyak orang yang mencoba memperlihatkan kualitasnya paling buruk. Mereka menyembunyikan kelemahan mereka dalam sikap kasar dan pemarah. Menyembunyikan rasa takut akan kesepian di balik kesan percaya diri. Dan, mereka tak percaya akan kemampuan mereka sendiri, namun tanpa henti menggembar-gemborkan kehebatan mereka."

Aih, hingga saat ini, aku masih riweh sendiri mengunyah kalimat panjang ini, usai membacanya. Untuk sementara, kubiarkan saja Poulo Coelho merasa aneh sendiri!  Jadi, aku lanjut aja menulis tentang urusan tahu dan tidak tahu ini, ya?

Tidak Tahu Itu adalah Awam?

Kata "awam" menjadi panduanku, sebagai pijakan tentang orang yang memilih tidak tahu. Dalam KBBI V, awam adalah umum, kebanyakan, biasa, tidak istimewa. Jika dikaitkan dengan kata orang. Maka menjadi orang kebanyakan, orang biasa (bukan ahli).

Golongan manusia-manusia awam ini, cenderung "dimaafkan" karena ketidaktahuannya. Namun juga terkadang "menjadi korban" akibat ketidaktahuan tersebut.

Fenomena terdekat, adalah "keriuhan" berkaitan dengan pandemic covid-19.  Kalimat "common sense" (akal sehat) menjadi viral. Untuk mengajak berfikir secara sehat, ketika di pusaran polemik beredar kata Lockdown, PSBB, dan terakhir The New Normal.

Sebagai orang kampung, aku jadi susah membedakan, apakah itu informasi dari orang awam atau para ahli. Tetiba, aku merasa semua menjadi ahli! Ada ahli kesehatan, ahli kebijakan publik, ahli ekonomi dan ahli-ahli lainnya.

Pagi tadi, malah sempat kubaca pada linimasa seorang teman, "Pandemi itu, akar masalahnya pada kesehatan. Kalau masalah kesehatan tidak diselesaikan, maka kita tak akan bisa menyelesaikan masalah ekonomi!"

Logika yang dibangun dari status ini, adalah kekhawatiran. Jika masyarakat dihadapkan langsung dengan resiko penularan wabah karena urusan ekonomi. Biaya pengobatannya, juga bakal menggerus ekonomi.

Akhirnya aku jadi bingung! Melihat serta membandingkan semangat New Normal dengan status temanku tadi. Belum lagi, adanya "kecurigaan" yang melahirkan debat kusir tentang data dan fakta dari angka-angka orang terpapar covid-19 yang beredar.

Apalagi jika hal itu dihadapkan dengan kredo "Risk Communication". Tujuan dari Risk Communication itu, bukan menyembunyikan data atau mengaburkan fakta. Tapi upaya menyelamatkan sebanyak-banyaknya nyawa bagi mereka yang terpapar

Tuh! Lebih nyaman tidak tahu, kan? Hiks...

sumber gambar : pixabay.com
sumber gambar : pixabay.com
Jurus Kaget Abu Nawas

Aku jadi menduga-duga, urusan tahu dan tidak tahu ini seperti "jurus kaget" Abu Nawas. Seperti dDikisahkan, pada suatu malam yang purnama, Abu Nawas kehilangan sebuah kunci. Maka, Abu Nawas sibuk mengelilingi rumahnya mencari kunci.

Tak terhitung kali, ia melakukan itu. Sehingga, memancing rasa ingin tahu para tetangga. Setelah tahu masalahnya, para tetangga pun sibuk mencari kunci milik Abu Nawas. Nyaris putus asa membantu, akhirnya seorang tetangga bertanya pada Abu Nawas.

"Coba diingat dulu! Kira-kira, di mana hilangnya kunci itu!"

"Hilangnya di dalam rumah!"

"Bodoh! Kalau hilangnya di dalam rumah, kenapa kau mencari di luar!"

"Kamu yang bodoh! Rumahku tak ada lampu. Di luar terang bulan. Kalau mencari itu harus di tempat yang terang!"

Sila pilih sendiri tentang siapa benar dan siapa salah dari kisah di atas. Abu Nawas tak akan peduli. Karena, ia terkadang juga memberikan solusi, dari persoalan rumit perdebatan tentang mana yang lebih dulu antara ayam dan telur.

"Lebih dulu ayam! Alasannya sederhana. Ayam pasti mampu mengenali telur, tapi telur tak akan mampu mengenali ayam."

Begitulah! Acapkali Abu Nawas memberikan kejutan dan bahkan menyelamatkan. Di antara pakem tahu dan tidak tahu, aku jadi curiga, jejangan Abu Nawas juga mempelajari satu pepatah Tiongkok kuno.

"Dalam pertempuran, kunci menuju kemenangan adalah kemampuan untuk mengagetkan lawan!"

Udah dulu, ya? Selalu sehat.

Salam Hormat!

Curup, 12.06.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun