Hal yang sama juga terjadi pada kondisi takut salah. Keraguan, kecemasan dan kekhawatiran lebih mendominasi pikiran, akhirnya gagap mengambil keputusan. Jika ini terus terjadi, maka anak tak akan mampu mewujudkan resiliensi diri.
Orangtua dan anak mesti saling mengakui. Apa kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan. Atau kekalahan-kekalahan yang pernah dialami. Agar anak terlatih jujur mengakui kesalahan dan kekalahan, juga belajar mencari solusi dari kedua hal tersebut.
Tak ada orangtua yang tak ingin anaknya menjadi sosok yang pintar. Pun pasti bangga ketika anak selalu memiliki rasa ingin tahu, agar tak puas dengan capaian yang telah diraihnya. Namun, hal itu akan menjadi hampa, ketiga orangtua gagal menanam resiliensi pada diri anak.
Ketika memiliki resiliensi diri, anak akan mampu mengukur kualitas dan kapasitas diri. Sehingga bisa memilih sikap yang tepat pada setiap situasi yang dihadapi. Hal itu, akan membuka jalan lebih lapang untuk meraih impian semua orangtua. Anak merasakan bahagia.
"Tapi, aku ingin anakku pintar, Bang!"
"Yang penting mereka bahagia kan, Bang?"
"Bahagia dulu, baru pintar! Banyak orang pintar, tapi tak bahagia!"
Curup, 10.06.2020
[ditulis untuk Kompasiana]