"Hei! Sama-sama!"
"Apa kabar anak-anak?"
"Hamdallah sehat! Itu, lagi gotong-royong cuci piring! Haha..."
"Hati-hati! Nanti dianggap abusive parent!"
Selanjutnya, saling berbalas chat terjadi. Dari bertanya kabar keluarga masing-masing, membahas tentang kendala kuliahnya, dan tentu saja berbincang tentang wabah corona serta isu terkini dalam negeri.
Karena teman dari jauh, apalagi dua tahun gak pernah ketemu, maka aku layani pembicaraan ngalor-ngidul itu. Kuikuti saja arah pembicaraan temanku yang rindu kampung halaman, dan gak bisa pulang. Bukan karena corona, namun alasan kuliah yang belum kelar! Ahaaay...
Tapi, pikiranku tak sepenuhnya pada isi pembicaraan. Sebagai orang kampung yang tinggal di Kaki Bukit Barisan dan di pedalaman Sumatera, mataku agak sensitif dengan bahasa asing yang hadir di awal percakapan.
Jadi, sambil terus membalas pesan, diam-diam (padahal gak ada juga yang tahu, kan?) Aku tulis di catatan ponselku dengan huruf kapital "ABUSIVE PARENT".
Sebab, yang aku tahu dan sudah pernah menulisnya di Kompasiana adalah tentang Toxic Relationship dan Toxic Parent. Kedua toxic itu, terkadang tanpa sadar acapkali dilakukan dalam hubungan pertemanan, antar pasangan, atau dalam pola asuh orangtua terhadap anak.
Akupun merasa kurang sopan, jika menanyakan itu di arus percakapan. Karena sebagai teman lama yang jauh di rantau, tentu saja temanku, tak berniat membahas tentang istilah yang bagiku ajaib itu, kan?