Terlalu jauh, jika menelusuri segala kelebihan dan kekurangan pada era Orde Baru. Namun jika parameternya adalah keutuhan berbangsa dan bernegara, maka sejak lengser pada 21 Mei 1997, 27 provinsi masih masuk dalam peta wilayah Republik Indonesia.
Poinnya tetap pada, kesadaran untuk menjaga keutuhan negara kesatuan republik Indonesia. Ada badai dan gelombang pasang surut dari kebijakan yang diambil menjadi "hal normal"" dalam dinamika sosial politik, ekonomi dan budaya serta aspek pertahanan dan keamanan.
Pidato Terakhir Suharto di Istana negara, "memutuskan mundur" sebagai presiden, juga mengedepankan nilai ini. Menjaga "kestabilan" sebagai sebuah negara. Apa jadinya, jika alur sejarah tak seperti itu?
Ketiga. Orde Reformasi.
Dinamika anak bangsa khususnya dalam hal politik dan ketatanegaraan, luar biasa pada era reformasi.
JIka orde lama, dari bangsa terjajah menjadi bangsa merdeka. Yang dihadapi adalah menyatukan "keliaran" ide dan tujuan berbagai wilayah menjadi rumusan dan tujuan Bersama.
Atau pada masa orde baru, dihadirkan kebijakan yang adakalanya ditafsirkan dan dirasakan sebagai sekat-sekat yang membatasi "kebebasan" anak bangsa. Maka era reformasi, anak bangsa ""terjebak" dalam perbandingan romantisme kedua era tersebut. Ingin bebas dalam keterikatan, atau terikat dalam kebebasan.
Pergantian pucuk pimpinan yang tidak pernah dialami seperti pada kedua orde sebelumnya, juga menghadirkan dampak negatif, jika dialihkan pada keutuhan bangsa dan negara.
Dua Pesta demokrasi (pemilu) terakhir, bisa menjadi gambaran, anak bangsa nyaris "terpecah". Tak hanya secara afiliasi politik, namun juga menyebar ke seluruh aspek kehidupan.
Gejolak hanya di pusat kekuasaan, tidak sampai ke akar rumput, Bro! Aih, kukira tak perlu dibahas tentang ini, tah?