Usai sholat maghrib, wajah Ibu terlihat kusut. Tergesa membereskan sajadah, segera bergegas masuk ke kamar.
Bagi wanita usia 82 tahun, menyendiri dan mengunci diri di kamar bukanlah hal yang aneh. Namun hingga sholat isya, ibu tak ada di barisan jamaah. Belum kudengar penjelasan dari seisi rumah, penyebab ibu berlaku seperti itu.
Istriku hanya tersenyum, mengerti raut wajahku yang penuh tanya. Sekilas matanya melirik pada Azam, anak lelaki satu-satunya, yang masih khusyu' berdoa di sebelahku. Itu adalah isyarat untukku.
Setelah berdoa, Azam bertukar salam denganku juga ibunya. Kupeluk Azam. Bocah kelas satu SD itu memeluk leherku erat. Kurasakan tubuhnya bergetar pelan. Kubiarkan tangisan itu menemukan jeda.
"Ada apa, Nak?"
"Nenek marah sama Azam, Yah!"
Kali ini, tangisan lelakiku tak lagi dengan diam. Dua lengan mungil itu, kembali merengkuh erat leherku.
"Kenapa Nenek marah?"
"Buku Ramadan Nenek hilang! Azam juga punya, kan?"
Tak lagi ada  suara, airmata melengkapi rasa bersalah Azam. Juga sebagai jawaban, kenapa Ibu bersikap begitu.
***