Aih, kau perempuanku. Pemilik benteng pertahanan dan persembunyian rasa yang kukuh. Nyaris putus asa aku mencari cara, untuk memastikan perasaanmu yang sesungguhnya untukku. Walau aku tahu, pasti menemui kegagalan.
"Iya. Gak usah aja!"
"Mas, masih di tempat kerja?"
"Iya. Masih lembur."
"Bukannya besok libur?"
Aku banyak belajar tanda-tanda darimu. Juga mengenal caramu, jika ingin bertemu. Kata "libur" salah satu kata kunci, sebagai permintaan agar aku datang ke rumahmu. Namun, beban kerja saat ini masih menumpuk. Beberapa dokumen mesti kurapikan, agar tak disembur atasan.
"Kalau gak bisa datang, jangan dipaksa. Yang penting Mas jaga kesehatan!"
Kembali kubaca pesanmu. Juga tanda offline di sudut kiri atas ponselku. Dan akupun terbiasa dengan itu. Bukan protes atam rajukan. Tapi, keputusan untuk bertemu atau tidak, ada di tanganku. Bagimu, lelaki adalah pemberi keputusan.
***
"Mas..."
Kalimatmu menguap di udara. Tanganmu masih memegang gagang pintu. Akupun masih berdiri di depan pintu menunggu.