Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Bilang Ayah, Guru juga Buruh, Bu!

4 Mei 2020   03:15 Diperbarui: 4 Mei 2020   04:31 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Illustrated by pixabay.com

"Namaku Walesa, biasa dipanggil Ales!"

Ales berdiri tenang di depan kelas. Sorot matanya tajam menatap seisi ruangan. Tak ada rasa takut di hari pertama pindah sekolah. Sekilas, Ales melihat dahi guru yang berkerut, kemudian wajah itu tersenyum. Tapi, Ales belum mengenal namanya.

"Nama yang unik! Apa cita-citamu?"

"Buruh, Bu!"

Nyaris semua siswa kelas 8 SMP itu tertawa. Sejak sekolah dasar, Ales akan memberikan jawaban yang sama. Juga sudah bersiap, menghadapi nada tawa yang sama.

"Sebentar! Buruh atau guru?"

"Guru juga buruh, Bu. Ayahku yang bilang!"

***

"Tanyakan pada Ayahmu!"

Itu jawaban ibu, saat ales menanyakan kenapa namanya dianggap aneh. Walesa. Hanya satu kata itu. Bukan Bambang Priambodo atau Anton Saputra, seperti nama dua temannya satu kelas. Setidaknya, jika satu kata seperti nama anak tetangga. Sulaiman.

Ales hanya ingat cerita ibunya. Jika pada waktu lahir,  Ales diberi nama Meira, karena lahir di bulan Mei. Tak ada tambahan kata lain, dengan alasan biar mudah diingat.

Namun, karena sakit-sakitan terus. Mbah Kangkung Asih, nenek Ales, menyarankan untuk mengganti nama. Maka ayah mengganti nama Meira dengan Walesa.

"Tanya sama gurumu!"

Itu jawaban ayah. Saat Ales ajukan pertanyaan yang sama, ketika membantu ayah memungut biji kopi di kebun Kades Rasmin. Setiap hari libur, Ales membantu Ayahnya, apapun pekerjaan yang diberikan tetangga. Atau membantu ibunya, membilas cucian di rumah Tante Rika, tetangga sebelah rumah.

"Sudah, Yah! Tapi gak ada yang tahu!"

"Haha..."

"Siapa Walesa itu, Yah?"

"Presiden, Nak!"

"Mana ada presiden Indonesia, namanya Walesa?"

"Polandia!"

***

Sejak saat itu. Ales tak lagi bertanya asal-usul namanya. Presiden Polandia! Satu jawaban yang membuatnya bangga. Apalagi sejak Ayahnya memberikan buku tentang Lech Walesa.

Kebanggaannya menjdi bertambah. Ketika Ales tahu, tak satu pun teman bahkan guru-gurunya yang tahu tentang asal-usul namanya. Yaitu sosok Lech Walesa, dan seorang presiden.

Ales pun jadi mengerti, ketika Pak Lik Usman, Pakde Gondo dan Mang Tasrin selalu bertamu ke rumah. Berbincang hingga larut malam. Ales tahu, ketiga orang itu adalah ketua kelompok tani. Dan ayahnya ditunjuk jadi koordinator ketiga kelompok tani tersebut.

"Kebun Kopi Wak Kasrun bakal kena rencana pembuatan jalan baru itu, Mas!"

"Sawah Agus juga. Tapi dia anggota dewan!"

"Iya. Malah senang! Bilang Agus, ganti ruginya besar!"

"Mas dekat dengan Kades Rasmin, kan? Coba ditanyakan!"

Beberapa kali, Ales mencuri dengar pembicaraan Ayahnya dengan tamu-tamu yang hadir. Ales pun tak lagi takut dan terkejut, jika tamu ayahnya berseragam polisi atau tentara. Puncaknya, akhir tahun lalu, saat ayahnya tiga hari tak pulang.

"Ayahmu lupa. Kalau bukan lagi mahasiswa, Nak!"

Ibunya dulu cerita. Kalau ayahnya dulu pernah kuliah. Tapi berhenti karena larut suasana demo saat reformasi. Dari ibunya juga,  Ales tahu. Jika ayah mengajak para petani di kampung menghadap bupati. Untuk menolak pembebasan lahan untuk pelebaran jalan.

"Wah! Ayah ikut demo lagi, Bu?"

"Ayahmu yang pimpin! Padahal..."

"Ayah hebat, ya?"

Satu minggu ayahnya tak pulang ke rumah. Pada hari kesepuluh, ayahnya pulang. Kemudian mengajak Ibu juga Ales segera berberes barang. Ales ingat kalimat singkat ayahnya

"Kita harus pindah, Nak!"

Ales pun mengingat tangisan tanpa suara dan airmata ibunya. Patuh pada perintah ayahnya.

***

"Aku pulang!"

Ales memasuki rumah. Ayah dan ibunya duduk di kursi kayu ruang tamu yang masih berserakan. Satu minggu, terlalu singkat untuk membereskan rumah baru, apalagi karena pindahnya juga buru-buru. Ales segera bertukar salam, dan duduk di samping ayahnya.

"Bagaimana hari pertamamu di sekolah, Nak?"

"Ditertawakan lagi, Yah!"

"Masalah nama lagi?"

Ales melihat ayahnya tertawa. Ibunya tersenyum sambil menghitung duit yang bertumpuk di atas meja. Ales belum pernah melihat uang sebanyak itu.

"Ini uang dari Kades, Nak!"

Ales terdiam. Tanpa diminta, ayahnya menjelaskan asal-usul uang yang sangat banyak di atas meja. Tuntutan demo dikabulkan. Rencana pembebasan lahan akan dikaji ulang. Namun, ada syarat lain yang tak disampaikan. Ayah harus pindah rumah, atas permintaan Kades Rasmin.

Ayahnya pun curiga jika permintaan itu adalah bentuk lain dari ancaman. Demi keselamatan Ales dan Ibunya, maka ayah menerima permintaan tersebut. Uang yang diantar Kades Rasmin, membuktikan kecurigaan ayahnya. Saat ayahnya bicara, Ales hanya diam. Sesekali menatap wajak Ibunya yang juga membisu.

"Ayah pergi dulu. Uang ini harus dikembalikan!"

Tak lagi bersuara. Ayahnya pergi meninggalkan rumah. Ales memandang ibunya yang tersenyum sambil bergeser tempat duduk dan memeluk Ales.

"Sekolah yang rajin, ya? Ayahmu ingin, kau jadi guru!"

"Hah?"

"Iya. Bukan buruh seperti ayah dan ibu!"

"Guru juga buruh, Bu!"

"Ayahmu yang bilang, kan?"

Curup, 04.05.2020
Zaldychan
[ditulis untuk Kompasiana]

Note :
Lech Walesa adalah presiden Polandia. Sebelumnya sempat bekerja sebagai buruh di Galangan Kapal Gdank, Polandia. Kisah ini fiksi, Maafkanlah jika ada kesamaan nama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun