Eh, kalau miliki anak kecil. Tetangga juga menjadi “masalah” bagi urusan kalap-kalapan belanja. Rencananya, mau masak sayur lodeh dengan tempe, tetiba dari tetangga tercium aroma ayam goreng. Bakal masalah!
Atau lagi diskusi menentukan buka puasa dengan anak-anak. Disepakati minumannya es dogan. Saat keluar rumah, anak tetangga lewat dengan senyum khas sambil membawa es krim.
Apa yang terjadi? Mungkin saja, anak-anak tak bersuara. Tapi, matanya melihat tajam pada bawaan di tangan anak tetangga. Bakal jadi masalah, kan?
Begitulah. Bisa jadi fenomena kalap belanja makanan dimulai dari psikologis, bahwa karena ini bulan Ramadan, jadi musti istimewa dan berbeda. Akibat godaan dari mulai televisi, media sosial juga dagangan tetangga dan anak tetangga. Hihi….
Jejangan, Kalap itu Kalah Akibat Lapar?
Berpuasa dalam pengertian umum, tak hanya menahan diri dari makan dan minum sejak terbit fajar hingga matahari tenggelam. Namun, jika memaknai secara asal kata shaum (puasa dalam bahasa arab) adalah "menahan diri dari segala sesuatu".
Kalau kalap urusan makanan, biasanya anak-anak lebih mendominasi, tah? Orang dewasa pasti ada, namun tak akan sedahsyat anak-anak untuk takluk pada selera!
Seperti kutulis di awal tadi. Sebagai orangtua, aku musti belajar lagi “menyetir” keputusan untuk memenuhi selera anakku. Agar tak kalap belanja, mengikuti selera mereka. Akhirnya dianggurin. Mubazir? Gak! Aku yang bakal menghabiskan.
Tapi anak-anakku tahu aturan yang aku terapkan sejak mereka baru bisa jajan. Jika suatu makanan yang minta dibelikan, tapi tak dihabiskan apalagi dimakan. Jangan harap akan dibelikan lagi!
Atau, aku seragamkan aja selera anakku, ya? Tapi, belum tahu caranya. Hiks…