Akan susah mengharapkan karya puisi perjuangan dari anak sekolah dasar, dengan bercak darah di ujung bambu runcing atau membayangkan tubuh basah dengan peluh dan berdebu. Ketika mereka tak pernah melihat darah, rumpun bambu dan bersekolah di gedung ber-AC.
Bisa, Bro! Kan, imajinasi lintas batas juga sekat? Iya, namun tak sedahsyat jika penulis puisi itu merasakan atmosfir serta suasana yang memang dilihat nyata. Karena hematku, imajinasi berpuisi tak "seliar" negeri dongeng karya HC Andersen, kan?
Karena puisi bisa saja lahir berdasarkan kehidupan dan refleksi penulisnya, kejahatan atau kebaikan di lingkungannya, berbincang tentang alam atau individualistis sikap-sikapnya, atau berkisah tentang cinta dan patah hati karena orang tercinta.
Menjawab pertanyaan topik pilihan Kompasiana tentang Hari Puisi Nasional, puisi seperti apa yang Kompasianer suka dan kenapa? Apakah puisi yang ditulis penyair lama atau baru? Aih, aku suka semua! Asal menuliskan rasa dan logikanya secara jujur.
Terserah urusan tata bahasa, pilihan kata, ragam majas yang digunakan, juga bentuk yang dipakai! Pun tak peduli dengan idiom tata aturan berpuisi yang baik dan benar versi siapa. Selagi tak ada yang terluka, aku akan suka.
Apakah aku tak ada ukuran suka? Pasti ada! Namun mubazir diujarkan, karena setiap orang akan berbeda ukurannya, tah?
Maafkanlah! Tulisan ini, kiramologiku saja. Izin lagi, kutitip satu puisi karya Emha Ainun Najib yang dirilis tanggal 11 Agustus 2019.
Jawaban Kepada Negeri
Kalau ditanya tentang keadaan Negeriku
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!