Izinkan aku menulis barisan kata-kata mati, untuk merayakan tanggal 28 April ini, yang ditetapkan sebagai hari puisi nasional yang sepi.
Sebagai awalan, aku tak memiliki ijazah, sertifikat atau deretan penghargaan, tetapi bentuk pengakuan diri jika tulisan ini, jauh dari kapasitas seorang pemuisi, penyair atau pujangga. Aku penyuka puisi.
Saat sekolah dasar dan SMP, aku dikenalkan puisi oleh guru-guru Bahasa Indonesia. Saat itu, aku mengenal dan bersentuhan dengan karya Amir Hamzah, Chairil Anwar, Asrul Sani, Sanusi Pane, Taufik Ismail juga Sutardji Chalzoum Bachri.
Hingga duduk di SMA. Melalui pelajaran Bahasa dan Sastra, beberapa nama bertambah. Rendra, Sapardi Djoko Damono, Emha Ainun Najib, Gus Tf Sakai, Jose Rizal Manua hingga Afrizal Malna.
Itu pun bukan karena memiliki buku-buku para penyair tersebut. Tapi karena acapkali diminta untuk ikut berbagai lomba. Semisal momen Hari Kemerdekaan, Hari Pahlawan, Peringatan Bulan Bahasa hingga ajang Perayaan Hari Besar Islam dengan puisi islami.
Sebagai orang kampung dengan keterbatasan literasi, serta tersudut dengan kemajuan teknologi. Ingatanku akhirnya terperangkap pada pusaran nama-nama yang sebagian kutulis di atas.
Akupun dilanda "kebosanan", ketika diajari cara menjiwai, mendalami dan menghayati puisi oleh guru pendamping saat ikuti lomba.
Harus berteriak hingga suara serak, memaksa mimik wajah sedih dan lebih bagus jika berurai airmata. Atau melakukan gerakan bersimpuh saat mempraktekkan kata "bersujud", hingga kedua lututku sempat membiru.
Totalitas tanpa arah! Agar bisa menarik dan menipu perhatian dewan juri. Tapi, aku tak bisa memaknai dan menyelami karya mereka dengan caraku sendiri. Aku tak bisa menikmati kebebasan dan keleluasaan "memperkosa" makna puisi itu.
Semasa kuliah, dengan perpustakaan kampus yang menyediakan banyak pilihan. Barulah aku menikmati karya mereka. Kebebasan berekspresi semasa menjadi mahasiswa, bergaul dengan para "seniman terlantar" level kampus, akhirnya menyeretku pada "arus suka-suka" untuk meluluhlantakkan tubuh-tubuh puisi.
Bagiku, pemuisi ketika melahirkan puisi-puisinya. Bukan seperti ibu yang melahirkan anaknya. Menyusui dan menyapih, mengasuh dan membesarkan hingga anak-anak mereka menjadi dewasa.
Usai membidani kelahiran sebuah karya, Pemuisi akan membiarkan barisan kata-kata itu mengembara. Menemui kebesarannya sendiri, atau menemui kematian dini.
Seperti seorang ilmuan atau seorang ahli yang menciptakan definisi. Kukira, proses kreatif sebuah puisi juga melalui tahapan kelahiran sebuah definisi.
Pertama. Tujuan.
Kalimat "tak ada makan siang gratis", menjadi ungkapan yang tepat untuk tahapan ini. Sebuah definisi tak mungkin diciptakan tanpa tujuan. Begitu juga dengan puisi. Hanya misteri yang tersimpan adalah, tak semua orang mengetahui tujuan untuk apa atau mengapa puisi itu dibuat.
Kedua. Situasi dan Kondisi.
Sebagaimana di zaman dulu, impian pergi ke bulan adalah sesuatu yang mustahil. Namun tidak pada saat ini, kan? Sebuah definisi begitu juga puisi, lahir berdasarkan kesesuaian situasi dan kondisi yang dialami (internal atau eksternal) penciptanya.
Ketiga. Pengetahuan.
Bagiku, pengetahuan adalah batasan dari sebuah imajinasi. Definisi lahir berdasarkan pengetahuan yang dimiliki oleh penciptanya. Maka, tak tertutup kemungkinan, jika puisi pun terlahir dengan koridor itu.
Ketika tujuan, situasi dan kondisi, serta pengetahuan seorang pemuisi berubah. Jika ketiga hal di atas bertambah atau berkurang, maka cara memaknai puisi yang terlahir pun akan berubah arah!
Akan susah mengharapkan karya puisi perjuangan dari anak sekolah dasar, dengan bercak darah di ujung bambu runcing atau membayangkan tubuh basah dengan peluh dan berdebu. Ketika mereka tak pernah melihat darah, rumpun bambu dan bersekolah di gedung ber-AC.
Bisa, Bro! Kan, imajinasi lintas batas juga sekat? Iya, namun tak sedahsyat jika penulis puisi itu merasakan atmosfir serta suasana yang memang dilihat nyata. Karena hematku, imajinasi berpuisi tak "seliar" negeri dongeng karya HC Andersen, kan?
Karena puisi bisa saja lahir berdasarkan kehidupan dan refleksi penulisnya, kejahatan atau kebaikan di lingkungannya, berbincang tentang alam atau individualistis sikap-sikapnya, atau berkisah tentang cinta dan patah hati karena orang tercinta.
Menjawab pertanyaan topik pilihan Kompasiana tentang Hari Puisi Nasional, puisi seperti apa yang Kompasianer suka dan kenapa? Apakah puisi yang ditulis penyair lama atau baru? Aih, aku suka semua! Asal menuliskan rasa dan logikanya secara jujur.
Terserah urusan tata bahasa, pilihan kata, ragam majas yang digunakan, juga bentuk yang dipakai! Pun tak peduli dengan idiom tata aturan berpuisi yang baik dan benar versi siapa. Selagi tak ada yang terluka, aku akan suka.
Apakah aku tak ada ukuran suka? Pasti ada! Namun mubazir diujarkan, karena setiap orang akan berbeda ukurannya, tah?
Maafkanlah! Tulisan ini, kiramologiku saja. Izin lagi, kutitip satu puisi karya Emha Ainun Najib yang dirilis tanggal 11 Agustus 2019.
Jawaban Kepada Negeri
Kalau ditanya tentang keadaan Negeriku
Tak kuperlukan pemikiran atau imajinasi
Juga tidak penafsiran atau analisis
Sebab manusia sudah kembali purba
Seolah-olah baru minggu lalu Tuhan menciptakannya.
Demikianlah.
Selalu sehat dan berbahagia!
Selamat Hari Puisi! Namaste
Curup, 28.04.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H