Hingga tiba masanya, sang anak lahir ke dunia. Sang anak mulai merasakan dia akan "dipaksa" keluar dari alamnya. Sehingga pilihannya adalah melakukan perlawanan, karena "enggan" keluar dari kandungan.
Perlawanan itu mengakibatkan rasa sakit bagi sang ibu saat melahirkan. Karena anak merasa "digusur" dari rumahnya. dan prosesi itu pun diwarnai tangisan sang anak!
Bagi ibunya, tak mungkin menahan dalam waktu lebih lama sang anak di tubuhnya. Tak hanya atas nama keselamatan dan kesehatan, namun juga beban atau penderitaan yang ditahankan juga musti dilalui selama mengandung sang anak.
Sesaat setelah lahir, maka orang dewasa mulai "memisahkan" anak dari alamnya. Walaupun melalui proses yang lambat, kita memberi mereka nama sebagai identitas. Menitipkan sifat-sifat dan beragam ambisi.
Semakin bertambah usia, kita menciptakan alam baru bagi anak. Melalui pola asuh semasa kanak-kanak, menunjukkan jenjang pendidikan juga pengajaran agama. Mengenalkan resiko yang harus dihadapi dalam kehidupan.
Perlahan, anak melupakan alam rahimnya. Berusaha menghadapi perubahan-perubahan itu. Yang kemudian menciptakan berbagai macam warna emosi di dalam kehidupannya.
Pada titik ini, anak mengenal amarah, kesedihan juga ketakutan-ketakutan yang berujung depresi. Lingkaran ini, acapkali disebut sebagian orang dengan akar emosi manusia.
Kahlil Gibran memberikan tamsilan, dengan cerita sosok orang-orangan sawah (bebegik). Sosok yang terbuat dari dua potong kayu yang diikat berbentuk palang. Diberi pakaian lengkap mulai dari baju, celana hingga topi menyerupai manusia.
Fungsi orang-orangan yang dipasang di tengah sawah itu adalah untuk mengusir dan menciptakan rasa takut pada sekawanan burung yang akan memakan bulir-bulir padi.
Gibran berkata, "berhentilah menjadi orang-orangan. Kau tak akan mungkin menjadi manusia. Tak peduli dengan terik matahari yang menyakitkan, atau deras hujan. Kau hanya menciptakan rasa takut pada sekawanan burung!"