Jika benar-benar menginginkan rasa aman, anda harus menjalani kehidupan yang tidak aman. - OSHO (Bhagwan Shree Rajneesh. 1931-1990)
Sekilas, ungkapan di atas bisa saja dimaknai sebagai logika terbalik. Namun tak serumit memaknai kata mudik dan pulang kampung! Hihi...
Sama halnya jika kita tahu rasa gula itu manis bukan dari sekedar mencicipi, namun setelah "membandingkannya" dengan rasa yang berbeda semisal rasa kopi yang pahit. Iya, kan?
Terkadang, manusia membutuhkan perbandingan-perbandingan untuk merasakan lebih baik atau memahami jika yang terjadi dan dialami saat ini lebih buruk. Manusia butuh mengetahui setiap perubahan.
Adakalanya manusia merasakan kebahagiaan dan penuh tawa, sesaat kemudian bisa penuh rasa haru dengan tangisan dan airmata. Ada saat manusia merasakan kedamaian dalam kesendirian, namun pada momen berbeda menjadi begitu ketakutan terpenjara kesunyian.
Kenapa bagitu? Karena hal itu dipicu oleh satu bagian yang merekat erat dalam diri setiap manusia, yaitu emosi. Sesuatu yang tak pernah diam, tak pernah menjadi permanen.
Emosi berasal dari kata "motion" yang bermakna gerak. Emosi selalu bergerak dan berubah sesuai dengan situasi serta kondisi yang dihadapi. Dan, secara sadar atau tidak, manusia melakukan itu.
Seorang suami yang bekerja, kemudian mendapat teguran atau amarah dari bos di tempatnya bekerja. Tak mungkin membalas dengan amarah, kan? Akhirnya menyimpan dan membawa pulang amarah ke rumah.
Ketika sampai di rumah, suami akan "mencari" pelepasan. Akan ada hal yang dirasakan "tidak beres" untuk melepaskan amarah. Bisa jadi masakan yang kurang garam, secangkir kopi yang kurang gula, atau rumah yang berserakan. Padahal pada hari biasa, itu tak menjadi masalah.
Ketika amarah itu tersalurkan, suami akan merasa baik-baik saja. Bagaimana dengan istri? Tentu saja pilihan bijak untuk tidak melakukan "perlawanan", kan?
Jika itu terjadi, maka akan ada pertengkaran bukan tak mungkin berujung pada perceraian! Maka, sang istri akan menyimpan kesedihan akibat kemarahan suami. Penundaan itu terakumulasi menjadi amarah, yang juga butuh pelepasan. Kepada siapa? Anak-anak!
Anak-anak yang pulang dari kuliah atau sekolah, letih dengan segala kejadian serta peristiwa yang musti dihadapi di luar rumah. Kemudian menerima "ledakan" dari ibu mereka.Â
Dengan cara yang persis sama, tanpa tahu sebab asalnya. Yang terjadi adalah mereka di posisi salah, dan tepat menerima tumpahan amarah ibu mereka.
Bakal menjadi anak durhaka, jika membalas amarah ibunda, tah? Anak-anak melepaskan amarah itu, mungkin dengan membanting pintu kamar, melempar tas sekolah, merobek buku pelajaran atau tak mau menkmati makanan yang tersaji, sebagai bentuk perlawanan.
Aih, begitu panjang rentetan sebuah amarah, tah? Mahaguru OSHO, menggambarkan perjalanan emosi anak manusia secara lebih panjang dalam buku emotional learning. Aku sarikan saja, ya?
Setiap anak, lahir dengan kemampuan merasakan keseluruhan alam. Karena dalam kandungan ibunya, dia bukanlah siapa-siapa. Bukan presiden atau dokter, tak punya nama dan tak perlu repot dengan eksistensi.Â
Dia sepenuhnya bersama ibunya, tak ada selain ibunya. Maka kandungan sang ibu adalah seluruh alam itu.
Di dalam kandungan, anak tak perlu mencemaskan cuaca terik atau hujan deras. Tak perlu khawatir tak punya uang atau simpanan di Bank, perubahan hari serta pergantian tanggal. Tak peduli sebagai pengangguran tanpa pekerjaan atau memikirkan kelebihan dan keistimewaan diri.
Tak perlu mengerti malam atau siang hari, tak pernah ada kecurigaan! Mereka sepenuhnya percaya, hari ini akan baik-baik saja. Begitu juga esok dan lusa di dalam kandungan ibunya.
Hingga tiba masanya, sang anak lahir ke dunia. Sang anak mulai merasakan dia akan "dipaksa" keluar dari alamnya. Sehingga pilihannya adalah melakukan perlawanan, karena "enggan" keluar dari kandungan.
Perlawanan itu mengakibatkan rasa sakit bagi sang ibu saat melahirkan. Karena anak merasa "digusur" dari rumahnya. dan prosesi itu pun diwarnai tangisan sang anak!
Bagi ibunya, tak mungkin menahan dalam waktu lebih lama sang anak di tubuhnya. Tak hanya atas nama keselamatan dan kesehatan, namun juga beban atau penderitaan yang ditahankan juga musti dilalui selama mengandung sang anak.
Sesaat setelah lahir, maka orang dewasa mulai "memisahkan" anak dari alamnya. Walaupun melalui proses yang lambat, kita memberi mereka nama sebagai identitas. Menitipkan sifat-sifat dan beragam ambisi.
Semakin bertambah usia, kita menciptakan alam baru bagi anak. Melalui pola asuh semasa kanak-kanak, menunjukkan jenjang pendidikan juga pengajaran agama. Mengenalkan resiko yang harus dihadapi dalam kehidupan.
Perlahan, anak melupakan alam rahimnya. Berusaha menghadapi perubahan-perubahan itu. Yang kemudian menciptakan berbagai macam warna emosi di dalam kehidupannya.
Pada titik ini, anak mengenal amarah, kesedihan juga ketakutan-ketakutan yang berujung depresi. Lingkaran ini, acapkali disebut sebagian orang dengan akar emosi manusia.
Kahlil Gibran memberikan tamsilan, dengan cerita sosok orang-orangan sawah (bebegik). Sosok yang terbuat dari dua potong kayu yang diikat berbentuk palang. Diberi pakaian lengkap mulai dari baju, celana hingga topi menyerupai manusia.
Fungsi orang-orangan yang dipasang di tengah sawah itu adalah untuk mengusir dan menciptakan rasa takut pada sekawanan burung yang akan memakan bulir-bulir padi.
Gibran berkata, "berhentilah menjadi orang-orangan. Kau tak akan mungkin menjadi manusia. Tak peduli dengan terik matahari yang menyakitkan, atau deras hujan. Kau hanya menciptakan rasa takut pada sekawanan burung!"
Maka orang-orangan sawah menjawab, "Cukuplah bagiku, jika berhasil mencptakan rasa takut pada sekawanan burung. Untuk itu aku diciptakan. Burung tak memiliki kecerdasan berfikir lebih jauh tentangku. Dan, tak perlu berharap lebih dariku!"
Begitulah, terkadang sebagai manusia juga sebagai orangtua, kita acapkali terlupa, bagaimana kita membentuk pribadi setiap manusia. Pun seringkali kita mengharapkan hal yang lebih, dari apa yang telah kita lakukan.
Sesungguhnya, harapan itu seiring dengan apa yang kita persiapkan dan kita lakukan. Jika sudah demikian, pelan-pelan kita memaknai cara mengendalikan emosi yang berupa amarah, kesedihan atau ketakutan.
Hal itu bermuara pada pemahaman, bagaimana membedakan rasa aman dan tidak aman dalam semua aspek kehidupan. Seperti memahami makna mudik dan pulang kampung, kan? Ahaaay...
Demikianlah.
Selalu sehat, Namastee!
Curup, 25.04.2020
Zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H