Ketika amarah itu tersalurkan, suami akan merasa baik-baik saja. Bagaimana dengan istri? Tentu saja pilihan bijak untuk tidak melakukan "perlawanan", kan?
Jika itu terjadi, maka akan ada pertengkaran bukan tak mungkin berujung pada perceraian! Maka, sang istri akan menyimpan kesedihan akibat kemarahan suami. Penundaan itu terakumulasi menjadi amarah, yang juga butuh pelepasan. Kepada siapa? Anak-anak!
Anak-anak yang pulang dari kuliah atau sekolah, letih dengan segala kejadian serta peristiwa yang musti dihadapi di luar rumah. Kemudian menerima "ledakan" dari ibu mereka.Â
Dengan cara yang persis sama, tanpa tahu sebab asalnya. Yang terjadi adalah mereka di posisi salah, dan tepat menerima tumpahan amarah ibu mereka.
Bakal menjadi anak durhaka, jika membalas amarah ibunda, tah? Anak-anak melepaskan amarah itu, mungkin dengan membanting pintu kamar, melempar tas sekolah, merobek buku pelajaran atau tak mau menkmati makanan yang tersaji, sebagai bentuk perlawanan.
Aih, begitu panjang rentetan sebuah amarah, tah? Mahaguru OSHO, menggambarkan perjalanan emosi anak manusia secara lebih panjang dalam buku emotional learning. Aku sarikan saja, ya?
Setiap anak, lahir dengan kemampuan merasakan keseluruhan alam. Karena dalam kandungan ibunya, dia bukanlah siapa-siapa. Bukan presiden atau dokter, tak punya nama dan tak perlu repot dengan eksistensi.Â
Dia sepenuhnya bersama ibunya, tak ada selain ibunya. Maka kandungan sang ibu adalah seluruh alam itu.
Di dalam kandungan, anak tak perlu mencemaskan cuaca terik atau hujan deras. Tak perlu khawatir tak punya uang atau simpanan di Bank, perubahan hari serta pergantian tanggal. Tak peduli sebagai pengangguran tanpa pekerjaan atau memikirkan kelebihan dan keistimewaan diri.
Tak perlu mengerti malam atau siang hari, tak pernah ada kecurigaan! Mereka sepenuhnya percaya, hari ini akan baik-baik saja. Begitu juga esok dan lusa di dalam kandungan ibunya.