"Aku berharap mesin waktu benar-benar ada. Supaya aku bisa kembali ke masa lalu, untuk menghapus semua penyesalanku. Aku tahu, kata maaf tak akan menebus kesalahanku kemarin. Namun aku tak akan putus asa meminta maaf, hingga kau memaafkanku."
Reaksi apa yang terpikirkan saat membaca permintaan maaf di atas? Sebuah ungkapan penyesalan? Sekedar ucapan simbolik? Atau malah lebay?
Begitulah. Salah satu interaksi paling mendalam yang acapkali terjadi antar manusia selain ungkapan cinta, adalah permintaan maaf.
Pada hari-hari terakhir ini, akan ditemukan berbagai ungkapan menggunakan kata maaf, tah? Apalagi sebentar lagi, akan memasuki Bulan Suci Ramadan 2020.
Secara naluriah, manusia dilengkapi "benteng" rasa, yang mampu menilai bagaimana ungkapan permintaan maaf itu. Jejangan permintaan maaf tapi bukan maaf? Â Aku tulis, ya?
Dalam beberapa literatur menyatakan, permintaan maaf adalah jika ungkapan pengakuan yang disertai penyesalan, tanggungjawab, serta melakukan restitusi atau memperbaiki kesalahan. Tapi, ada istilah permintaan maaf non-maaf. Â
Di Wikipedia.org. permintaan maaf non-maaf ini dikenal dengan istilah nonpology atau fauxpology. Dimaknai sebagai bentuk permintaan maaf yang tidak mengungkapkan penyesalan. Hal ini terjadi dalam hubungan masyarakat.
Ada yang berpendapat, permintaan maaf non-maaf itu tidak mengakui ada yang salah, tapi untuk menghindari ketersinggungan orang lain. Secara lugas, ungkapan ini acapkali dilakukan oleh politisi dan pejabat publik.
"Maaf, jika kami harus..."