"Abang dari mana?"
Kukira amarahmu mereda. Tapi, aku tahu. Kau tak butuh jawabku atau mendengar suaraku.
"Besok aku pulang ke rumah ibu, ya?"
"Kenapa..."
"Biar kita berdua tenang dulu!"
***
Mataku tak mungkin keliru. Saat terpesona menyaksikan warna pelangi yang melekat erat pada kedua kelopak sayap, serta sentuhan anggun nan lembut, ketika kaki-kaki itu hinggap di kelopak bougenville.
Mengamati tubuhnya yang lunak dan rapuh, aku berfikir, jika ia adalah makhluk indah yang jinak dan sedikit angkuh.
Maaf, Bang! Bilang ayah, keadaan sekarang berbahaya. Biarlah aku tinggal di sini dulu.Â
Kembali kubaca pesan darimu. Aku keliru! Seekor kupu-kupu mampu berlaku kaku dan beku. Terkadang seperti hantu.
Akupun jadi tahu. Dua minggu berlalu. Kau adalah kupu-kupu itu. Tapi, bukan hantu.
***
"Rokok, Bang?"
"Gak!"
"Air, mau?"
"Gak!"
"Permen?"
Lelaki setengah baya berdiri di hadapanku. Wajahnya berusaha menyajikan senyuman, namun gagal. Sebungkus permen di dalam genggaman tangannya yang bergetar, masih tergantung di udara. Anggukan pelan bercampur enggan dariku, melahirkan tawa tertahan.
"Terima kasih, Bang!"
"Iya."
"Penglaris! Semoga nanti dapat istri yang penyayang, ya?'
"Hah?"
"Iya! Tapi musti banyak uang! Kalau gak, bakal dibuang! Seperti saya."
Teduh udara sore itu. Taman kota menjadi ramai. Semakin banyak penjaja makanan berlomba menawarkan beragam dagangan. Di tengah taman, anak-anak kecil yang sibuk berlarian menjauh dari orangtua mereka.
Sesaat mataku menatap bangku-bangku taman yang penuh terisi pasangan. Saling bertukar pandang, berbalas senyuman atau mungkin saling berbagi bisikan. Aih, apa peduliku?
Seperti kedatangannya, lelaki pedagang asongan itu pun berlalu tanpa aba-aba. Meninggalkan sebungkus permen. Juga aku yang mencari seekor kupu-kupu di rerimbun bougenville. Mungkin saja, ia sepertiku. Menunggumu..
***
"Ibu akan jaga istrimu."
"Corona?"
"Bilang Dokter, positif. Tapi kondisinya stabil!"
"Aku..."
"Besok kau ada wawancara kerja, kan? Berdoalah!"
***
"Kita pulang?"
Kurasakan usapan lebut jemari ibumu di punggungku. Mataku mengeja namamu. Terpahat kaku dan beku. Menyisakan sepi yang menguasai penghujung hari.
"Sebentar lagi maghrib! Besok kita datang lagi!"
Hanya sesaat aku menikmati cahaya senja. Perlahan bias jingga tertelan kesunyian. Hanya bisikan angin yang mengajak pulang ingatan tiga minggu lalu. Pertanyaan sekaligus pesan terakhir darimu.
"Kau mau menungguku?"
Â
Curup. 19.04.2020
[ditulis untuk Kompasiana]
Catatan: Fiksi ini, untuk mereka yang mampu bertahan dari wabah corona.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H