Mohon tunggu...
zaldy chan
zaldy chan Mohon Tunggu... Administrasi - ASN (Apapun Sing penting Nulis)

cintaku tersisa sedikit. tapi cukup untuk seumur hidupmu

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kau Mau Menungguku?

19 April 2020   20:50 Diperbarui: 19 April 2020   21:55 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Lelaki yang kesepian. (sumber gambar : pixabay.com)

"Abang dari mana?"

Kukira amarahmu mereda. Tapi, aku tahu. Kau tak butuh jawabku atau mendengar suaraku.

"Besok aku pulang ke rumah ibu, ya?"

"Kenapa..."

"Biar kita berdua tenang dulu!"

***

Mataku tak mungkin keliru. Saat terpesona menyaksikan warna pelangi yang melekat erat pada kedua kelopak sayap, serta sentuhan anggun nan lembut, ketika kaki-kaki itu hinggap di kelopak bougenville.

Mengamati tubuhnya yang lunak dan rapuh, aku berfikir, jika ia adalah makhluk indah yang jinak dan sedikit angkuh.

Maaf, Bang! Bilang ayah, keadaan sekarang berbahaya. Biarlah aku tinggal di sini dulu. 

Kembali kubaca pesan darimu. Aku keliru! Seekor kupu-kupu mampu berlaku kaku dan beku. Terkadang seperti hantu.

Kau mau menungguku?

Akupun jadi tahu. Dua minggu berlalu. Kau adalah kupu-kupu itu. Tapi, bukan hantu.

***

"Rokok, Bang?"

"Gak!"

"Air, mau?"

"Gak!"

"Permen?"

Lelaki setengah baya berdiri di hadapanku. Wajahnya berusaha menyajikan senyuman, namun gagal. Sebungkus permen di dalam genggaman tangannya yang bergetar, masih tergantung di udara. Anggukan pelan bercampur enggan dariku, melahirkan tawa tertahan.

"Terima kasih, Bang!"

"Iya."

"Penglaris! Semoga nanti dapat istri yang penyayang, ya?'

"Hah?"

"Iya! Tapi musti banyak uang! Kalau gak, bakal dibuang! Seperti saya."

Teduh udara sore itu. Taman kota menjadi ramai. Semakin banyak penjaja makanan berlomba menawarkan beragam dagangan. Di tengah taman, anak-anak kecil yang sibuk berlarian menjauh dari orangtua mereka.

Sesaat mataku menatap bangku-bangku taman yang penuh terisi pasangan. Saling bertukar pandang, berbalas senyuman atau mungkin saling berbagi bisikan. Aih, apa peduliku?

Seperti kedatangannya, lelaki pedagang asongan itu pun berlalu tanpa aba-aba. Meninggalkan sebungkus permen. Juga aku yang mencari seekor kupu-kupu di rerimbun bougenville. Mungkin saja, ia sepertiku. Menunggumu..

***

"Ibu akan jaga istrimu."

"Corona?"

"Bilang Dokter, positif. Tapi kondisinya stabil!"

"Aku..."

"Besok kau ada wawancara kerja, kan? Berdoalah!"

***

"Kita pulang?"

Kurasakan usapan lebut jemari ibumu di punggungku. Mataku mengeja namamu. Terpahat kaku dan beku. Menyisakan sepi yang menguasai penghujung hari.

"Sebentar lagi maghrib! Besok kita datang lagi!"

Hanya sesaat aku menikmati cahaya senja. Perlahan bias jingga tertelan kesunyian. Hanya bisikan angin yang mengajak pulang ingatan tiga minggu lalu. Pertanyaan sekaligus pesan terakhir darimu.

"Kau mau menungguku?"

 


Curup. 19.04.2020

Zaldychan

[ditulis untuk Kompasiana]

Catatan: Fiksi ini, untuk mereka yang mampu bertahan dari wabah corona.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun